Seandainya tak begitu sibuk saat mendengar cerita Silke ini, saya rasanya ingin menelusuri kategori "pengangguran" yang disematkannya kepada keluarga di Karang Asem itu. Kalau sekadar duduk-duduk, minum kopi, nyabung ayam (hal yang lazim dilakukan lakilaki Bali), ngobrol dengan tetangga sepanjang hari, belum tentu pengangguran bukan? Siapa tahu mereka punya sawah atau kebun, yang baru selesai panen, atau siapa tahu sawah dan kebun itu dipercayakan kepada petani penggarap, siapa tahu mereka juga lagi ingin liburan menemani Silke sepanjang hari... Siapa tahu kan?
"Tapi mereka ngaku jobless..." kata Silke ngotot. "Dan kalau saya jadi mereka....tidak mungkin ada makan gratis untuk orang asing di rumah saya! Sungguh ini keajaiban. Saya beruntung! Saya beruntung! "
Di pengalaman lain, begitu banyak kawan orang asing yang memiliki semangat seperti Silke. Mereka kawan-kawan lingkaran pencinta Indonesia yang baik. Indonesia mereka kenal lewat cerita-cerita (yang subyektif tentu saja) dari saya, yang bersanding dengan segala informasi "mengerikan" yang ada di halaman internasional, tentang teroris, bom, keamanan yang mengkhawatirkan, dan seterusnya... Jenis kawan seperti Silke, saya masukkan dalam kategori "pelancong pemberani yang percaya informasi teman". Setiap terjadi peristiwa besar, mereka akan bertanya, "Kamu baik-baik saja? Aman kan?"
(Well, saya harus menjawab apa? Masak harus ikut menakut-nakuti : "Hati-hati deh, banyak teroris, ada presiden yang curhat katanya mau dibunuh, ada flu babi, juga banyak copet...."Â Dalam kondisi apa pun, saya bilang: "Indonesia itu luassss... memangnya kamu mau ke mana? ke Karang Asem lagi? Aman kok...datang saja..")
Sayangnya, musim panas ini, Silke liburan di dekat-dekat tempat tinggalnya saja di Bonn. Ia kena hempasan krisis global, katanya. "Hmmm..bisa-bisa saya yang jadi pengangguran setelah liburan ini...." ia menggambarkan kondisi keuangannya yang tidak memungkinkan perjalanan ke Asia sambil mengenang hati emas "keluarga pengangguran" di Karang Asem.
Sambil mengingat Silke, di email inbox saya dua hari setelah bom Mega Kuningan ada surat yang muram dari seorang kawan Swedia yang mengaku trauma dan mengurung diri di rumahnya di Kemang sejak teror mengguncang Jakarta. Kawan ini membatalkan kedatangannya ke Makassar, memenuhi undangan saya. Ia menjelaskan panjang lebar tentang rasa takutnya keluar pagar, bahkan ke toko di dekat rumahnya. Ia dan keluarganya terbang ke Stockholm, kemarin, masih dalam cengkraman rasa takut. "Kami sekeluarga dilanda trauma yang serius..." katanya.
ly
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H