Mohon tunggu...
Lily Yulianti Farid
Lily Yulianti Farid Mohon Tunggu... -

Jurnalis dan penulis fiksi yang aktif mengembangkan jurnalisme warga (citizen journalism, CJ). Salah seorang pendiri www.panyingkul.com, portal CJ pertama di Indonesia, yang berbasis di Makassar, kolumnis di Ohmynews International, situs CJ terbesar di dunia yang bermarkas di Seoul dan Nytid, majalah berita di Oslo, Norwegia. Menulis blog dan menayangkan tulisannya di www.lilyyuliantifarid.com. Pernah bekerja di Harian Kompas, Radio Australia Melbourne dan Radio Jepang NHK World, Tokyo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kapur Tulis di Sekolah Jepang

25 Juli 2009   02:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:54 1577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah menemani serombongan pengasuh pondok pesantren yang diundang Deplu Jepang untuk studi banding ke sejumlah sekolah di Tokyo dan Osaka.

Jepang yang canggih. Senantiasa seperti itulah yang tertanam di benak kepala orang yang baru pertama kali ke negara ini. Nuansa inilah yang tertangkap dalam pertemuan hari itu.

Jepang yang berupaya hemat dan awet. Ini yang saya pahami saat menghabiskan waktu mengamati betapa di banyak institusi dan rumah tangga, orang-orang Jepang berupaya memaksimalkan pemanfaatan setiap sumber daya yang digunakannya.

Kunjungan hari itu memang sebuah paradoks bila dilihat di kacamata orang Indonesia. Sebuah SMP sederhana di kawasan perumahan elit, Hiroo, di pusat Tokyo.

(Ssst, ini bukan sekolah nomor satu, tak ada grand piano di aula sekolah, bisik teman, putra seorang diplomat China yang ikut bersama saya)

Rombongan Indonesia hari ini mungkin tak paham cara mengukur elit tidaknya sebuah sekolah dari kehadiran grand piano atau jenis ekstra kurikuler yang asyik, semisal baseball dan bukan hanya baris berbaris. Yang menjadi pembicaraan mereka justru, bangku meja belajar yang tua (tapi tentu sangat bersih dan terawat) dan papan serta kapur tulis.

"Jadi tak ada white board di sekolah ini?"

Seorang kiai bertanya keheranan.

"Pesantren kami lebih canggih dong!"

Kiai yang lain terbahak. Siang itu mereka menemukan sesuatu yang terasa lucu: kapur tulis yang masih digunakan di sebuah sekolah, di sebuah negara yang dijuluki paling canggih di dunia.

Kapur tulis, lantai ubin (bukan porselen atau keramik seperti di sekolah-sekolah kota besar di Indonesia), meja dan bangku kayu berusia puluhan tahun, gedung sekolah yang tak kalah tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun