Mohon tunggu...
Lily Tiaraningrum
Lily Tiaraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - never give up

instagram : @lilytiaraningrim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Makan Kucing di Sulawesi Utara, Apakah Salah?!

13 September 2020   15:32 Diperbarui: 20 Mei 2021   23:53 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budaya makan kucing di Tomohon, Minahasa, Sulawesi Utara (unsplash/ludemeula fernandes)

Budaya adalah sebagai transmisi sejarah dan konstruksi sosial yang berbentuk simbol, peraturan, dan dasar pikiran. Budaya juga membawa pengaruh bagi semua sisi kehidupan setiap orang. 

Makanya dari itu budaya berperan besar bagi kehidupan. Dari penjelasan diatas, dapat diambil benang merah bahwa budaya memiliki dasar-dasar dan simbol tersendiri untuk penyampaikan pesannya. Contohnya, budaya makan kucing di Tomohon, Minahasa, Sulawesi Utara. Sebenarnya masyarakat daerah Tomohon tidak hanya memakan kucing sebagai santapan, namun hewan ekstrem lainnya seperti kelelawar, ular, tupai, dan tikus. 

Baca juga : Tradisi Makan Kucing Penduduk Minahasa Bagian Keunikan Indonesia

Kucing bukan lah hewan yang ekstrem, tetapi kucing merupakan hewan peliharaan yang seharusnya bukan untuk dijadikan santapan. Budaya kebiasaan menyantap hewan ekstrem dan tak lazim tersebut membantu masyarakat Minahasa untuk tetap hidup dan bertahan di hutan. 

Saat era konflik senjatan tahun 1950an, masyarakat Mihanasa yang bergerilya mampu mempertahankan hidupnya dengan persediaan makanan yang terbatas "Semua yang bisa terbang asal bukan pesawat, semua yang melata asal bukan kereta api, bisa dimakan oleh orang Minahasa." 

Baca juga : Manguni: Hewan Peliharaan Dewi Minerva Romawi Kuno dan Ko'ko ni Opo Mamarimbing di Minahasa

Sebelum agama kristen dan agama islam masuk, hewan-hewan ekstrem sudah menjadi santapan. Tidak sedikit sebagian masyarakat Minahasa yang tidak mengikuti budaya menyantap hewan ekstrem. 

Namun budaya menyantap hewan esktrem di Minahasa itu terjadi hanya soal makan saja bukan, membelah Minahasa. Dibutuhkan komunikasi yang baik dan tepat agar setiap orang yang tahu budaya menyantap hewan ekstrem, adalah kebiasaan sejak jaman dahulu dan tidak ada yang salah dari budaya. 

Baca juga : Filologi Bahasa Minahasa: Ironis, Bernilai Tinggi tapi Pernah Ditinggalkan dan Sulit Dikembalikan?

Disinilah komunikasi antarbudaya memiliki peranan besar, agar kesalahpahaman tidak terjadi serta masyarakat luas dapat memahami budaya orang lain. 

Sumber : 

1. Darmastuti, R. 2013. "Mindfullness Dalam Komunikasi Antarbudaya." Buku Litera: Yogyakarta. 

2. "Kisah Pasar Ekstrem Tomohon, Secuplik Perlawanan, dan Lelucon." Tirto.id

#kabuajy3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun