Maret 2014, kesehatan bapak saya semakin menurun. Beliau sudah mengidap maag sejak lama. Tapi belakangan, asam lambungnya sering mudah naik. Padahal setiap harinya makan sudah diatur sedemikian rupa. Mungkin karena faktor ‘pikiran’ atau stres, jadi asam lambungnya terpengaruh.
Hal itu terjadi beberapa bulan. Berbagai cara kami coba, mulai dari mengatur lagi pola makannya, periksa ke dokter dan sering berkonsultasi, bahkan terkadang melakukan saran beberapa teman yang memiliki pengalaman serupa. Suasana di rumah juga dibuat se’cair’ mungkin. Lebih banyak canda dan komunikasi lebih baik, setidaknya agar tidak membebani pikiran beliau. Perlahan, cara itu menunjukkan hasil. Asam lambung bapak saya mulai normal.
Tapi hal yang tidak kami duga tiba-tiba datang. Akhir Mei 2014, asam lambungnya tiba-tiba meningkat lagi. Bukan karena salah makan, atau stress yang terlalu kuat, tapi karena kaget ketika mendengarkan teriakan tetangga di depan rumah. Tapi siapa sangka, dampaknya justru lebih parah.
Selain rasa perih, mual, dan tidak nyaman di lambung, beliau merasakan detak jantungnya meningkat, lemas, dan gemetar. Keluarga segera memeriksakannya, ke puskesmas dan dokter setempat. Yang menjadi perhatian saya saat itu, tensi darahnya naik dan turun secara drastis. Saya curiga ada yang tidak beres dengan jantung beliau.
Setengah takut, setengah khawatir. Saya bilang ke ibu tentang kecurigaan itu, dan menyarankan untuk memeriksakan jantungnya. Setelah saya jelaskan lebih lanjut, ibu setuju dengan saran saya. Jika terdeteksi sejak dini, mungkin akan memudahkan dalam penangannya. Begitu pikiran kami saat itu. Tapi hal itu tidak serta merta dapat kami lakukan saat itu juga. Biaya menjadi kendala bagi kami.
Sementara ibu mencari biaya untuk ke rumah sakit, saya mengantar bapak pergi ke puskesmas untuk rekam jantung. Dokter di puskesmas menjelaskan ada masalah jantungnya, mungkin itu juga pengaruh dari asam lambung. Beliau menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lengkap di rumah sakit daerah.
Dengan berbagai usaha mencari biaya, akhirnya bapak saya bisa periksa di rumah sakit daerah di Semarang. Dari pemeriksaan dokter di sana, ternyata memang ada masalah di jantungnya. Sejak saat itu, bapak harus rajin mengkonsumsi obat dan kontrol setiap bulan. Artinya, kami harus menyiapkan sedikitnya 700.000 rupiah setiap bulannya. Bagi kami, itu bukan angka yang kecil, tapi harus usahakan.
Akhir tahun 2014, dokter yang menangani bapak menyarankan melakukan pemeriksaan lebih lanjut di RSUP dr. Kariadi. Karena bapak harus diperiksa lebih lengkap lagi, sedangkan alatnya hanya ada di RSUP. Pemeriksaan lanjut itu dilakukan agar penanganannya lebih tepat, sehingga hasilnya lebih optimal. Mendengar saran tersebut, kami berkonsultasi lebih jauh tentang pemeriksaan di RSUP, sekaligus mencari kisaran biaya yang harus kami siapkan.Saya melihat hal ini lebih serius. Tentu butuh biaya yang tidak sedikit untuk kesana. Padahal kami bukan pegawai dengan gaji yang ‘nyaman di dompet’. Dokter di rumah sakit daerah menyarankan untuk ikut BPJS Kesehatan saja.
BPJS Kesehatan ini menurut saya kebijakan yang bagus untuk menangani masalah kesehatan di masyarakat. Menurut pemahaman saya, prinsipnya adalah gotong royong dan saling membantu. Saya menggambarkannya seperti subsidi silang. Hal seperti ini juga saya lakukan di pesantren dulu. Kami membayar dana kesehatan, untuk menolong teman-teman yang sakit, juga menolong diri kami sendiri. Jika suatu hari sakit, kami tidak perlu takut ke klinik pesantren karena tidak ada uang. Karena kami (para santri) sudah saling paham, jadi kami sama-sama ikhlas membayar. Hal itu terdengar seperti shodaqoh untuk sehat, bagi saya. Saya melihat prinsip ini juga serupa yang digunakan di BPJS Kesehatan. Bedanya mungkin di pengelolaannya. Karena BPJS Kesehatan ruang lingkupnya sangat luas dan menyangkut hajat hidup masyarakat secara umum.
Kebijakan di awal 2015, pendaftaran peserta BPJS tidak lagi per seorangan. Tetapi secara kolektif, mendaftarkan semua anggota keluarga. Saya menjelaskan pada mereka tentang BPJS Kesehatan, dan mendiskusikan hal ini. Akhirnya, awal februari 2015 saya mendaftarkan keluarga saya di kantor BPJS Kesehatan di kabupaten.
Langkah pendaftaran bagi yang masyarakat umum terbilang mudah. Beberapa persyaratan tentu harus disiapkan sebelumnya. Yakni:
- Kartu keluarga
- KTP semua anggota keluarga
- Buku nikah orang tua
- Pas foto 3x4 masing-masing anggota keluarga
- Buku rekening salah satu anggota keluarga (BRI/BNI/Mandiri)
Di kantor BPJS Kesehatan, syarat-syarat tersebut akan dicek kelengkapannya oleh petugas. Setelah lengkap, calon peserta akan diberi penjelasan dan pengarahan terlebih dahulu sebelum mendaftar. Disana, kita dapat menanyakan hal-hal yang mungkin masih dibingungkan kepada petugas.
Selepas itu, kita menunggu antrian untuk mendaftar pada petugas pendaftaran. Saat itu, calon peserta yang hendak mendaftar kebetulan banyak. Jadi saya harus sabar menunggu giliran. Setelah data dimasukkan oleh petugas, kita membayar premi bulan pertama, melalui rekening yang kita gunakan. Saat itu sudah tidak menerima pembayaran melalui teller, jadi pembayaran dilakukan melalui ATM. Bukti pembayaran itulah yang kita tukarkan dengan kartu BPJS Kesehatan. Kartu tersebut aktif dan dapat digunakan seminggu setelah pembayaran pertama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H