Keluarga merupakan fondasi utama bagi perkembangan emosional dan psikologis seorang anak. Sayangnya, tak semua anak mampu mendapatkan dukungan emosional dan psikologis yang seharusnya mereka dapatkan dari keluarga mereka.
Ketika terjadi perpecahan dalam keluarga atau yang sering disebut "broken home", anak-anak sering kali menjadi pihak yang paling terdampak.Â
Dikutip dari Tribunnews, menurut Dokter Spesialis Jiwa dari RS Nirmala Suri, dr Taufik Ismail Sp. KJ, anak yang tumbuh dalam keluarga broken home sangat rentan mengalami masalah kesehatan jiwa dibandingkan dengan anak yang tumbuh dalam keluarga utuh.
Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga broken home sering kali mengalami perasaan tidak aman, kebingungan, dan kesedihan. Perubahan dinamika keluarga, seperti perpisahan atau perceraian orang tua, dapat menimbulkan trauma yang mendalam.Â
Mereka mungkin merasa kehilangan salah satu figur orang tua yang sebelumnya selalu ada untuk mereka. Perasaan ditinggalkan atau disalahkan juga sering muncul, yang dapat berujung pada rendahnya harga diri dan munculnya masalah emosional seperti kecemasan dan depresi.
Kehidupan sosial anak-anak dari keluarga broken home juga dapat terganggu. Mereka mungkin merasa malu atau berbeda dari teman-teman mereka yang memiliki keluarga utuh.
Hal ini bisa menyebabkan isolasi sosial dan kesulitan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya. Dalam beberapa kasus, anak-anak ini mungkin menunjukkan perilaku agresif atau menarik diri dari interaksi sosial sebagai cara untuk mengatasi perasaan mereka.
Lebih lanjut, stres dan ketidakstabilan emosional akibat kondisi keluarga yang tidak harmonis juga dapat memberikan dampak pada kinerja akademis anak.Â
Mereka mungkin kesulitan berkonsentrasi di sekolah, menurunnya motivasi belajar, dan berkurangnya partisipasi dalam kegiatan sekolah.Â
Gangguan tidur dan masalah kesehatan mental lainnya juga dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk berprestasi di bidang akademis.Â