Dari 40 cerpen yang dimuat dalam buku "40 Wajah Korona", ada salah satu judul yang sangat menggelitik pikiran, judulnya "Guru yang Depresi Akibat Korona". Â Karena merasa tidak percaya dengan kejadian yang dikisahkan dalam cerpen tersebut, begini ceritanya:
Bu Rini adalah seorang guru yang merasa kurang puas dengan keputusan belajar secara daring akan diperpanjang sampai surat keputusan turun dari pemerintah. Beliau merasa tidak akan cukup belajar daring melalui whatsApp dan manual saja. Kemudian dengan semangatnya beliau mengikuti kegiatan webinar yang tujuan untuk meningkatkan kemampuan IT nya. Bahkan berani merogoh koceknya demi kelengkapan perangkat pembelajaran daring, seperti membeli kamera canggih, treepod, green screen, memasang wifi, dan perangkat lainnya. Semua itu demi pembelajaran yang maksimal karena beliau ingin memberikan yang terbaik.
Dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran, beliau selalu sungguh-sungguh dengan menyiapkan powerpoint dan video pembelajaran, LK sebagai feed back untuk pemahaman peserta didik.Â
Kemudian belajar menggunakan platform online lainnya seperti zoom meeting, breakout room, dan edpuzzle, mempelajari juga bagaimana menggunakan webex, membuat google classroom, membuat pembelajaran interaktif peer deck, membuat papan prestasi dengan padlet, membuat berbagai poster pembelajaran dengan aplikasi canva, belajar bagaimana mengoperasikan edsite, bahkan sampai membuat Quiziz. Beliau rela walaupun istirahat hanya 2-4 jam. Berbagai usaha dan kerja kerasnya Bu Rini mendapat apresiasi dari sekolah sebagai "Teachers of the month" Bu Rini sangat senang dedikasinya membuahkan hasil. Peserta didik juga senang dengan pembelajaran yang interaktif dan kreatif.
Tapi lama kelamaan penghargaan yang didapat terasa membebani. Beliau menjadi berubah dalam kesehariannya. Selalu berusaha meng-upgrade pengetahuan dan skill-nya dalam pembelajaran.waktu kerjanya menjadi berlipat, dari sebelum dengan sesudah adanya pandemi. Hal ini membuat syaraf leher beliau menjadi kaku, hingga beliau tampak kesakitan kalau harus menengok ke kanan atau ke kiri. Kejadian ini rupanya semakin meningkat ketika Bu Rini terkendala perangkat pembelajaran yang kurang support terhadap kebutuhan Bu Rini dalam pembelajaran. Maka reaksi Bu Rini menjadi seperti yang kecewa sekali dengan keadaan ini, padahal beliau sudah mempersiapkan semuanya untuk anak-anak dengan sangat lebih baik. Efek dari peristiwa itu, beliau menjadi sering menangis, marah, dan bergumam sendiri serta selalu panic dan gemetar. Melihat hal ini, Bi Inah pembantunya Bu Rini, menyampaikan keaadaan majikannya kepada Bu Mita, tetangganya Bu Rini yang bekerja sebagai dokter.
Ketika dokter Mita datang menemui Bu Rini, Bu Rini bereaksi yang menurut penglihatan seorang dokter, ada sesuatu yang kurang beres. Kemudian dokter berusaha menyapa Bu Rini. Tapi rekasinya malah tambah menunjukkan kalau sesuatu telah terjadi pada Bu Rini. Awalnya Bu Rini menolak kebaikan Bu Mita, tetapi ketika tangan bu Mita dengan lembut mengusap punggungnya, akhirnya Bu Rini menerima pelukan dokter Mita. Dokter Mita kemudian memberikan obat tidur.Â
Setelah Bu Rini tertidur di kamarnya, Bi Inah menceritakan kepada dokter Mita kalau Bu Rini itu memang menginginkan yang terbaik buat anak muridnya. Sayangnya selama pandemi Bu Rini memang jarang bersosialisasi dan selalu berada di ruang kerjanya, tidak memberikan relaksasi pada tubuhnya. Ditambah keinginannya yang tinggi dan perfeksionis membuat Bu Rini hilang kendali. Bu Rini harus terapi dua hari sekali untuk menenangkan emosi, karena Bu Rini mengalami episode manik, hipomanik dan depresi.Â
Dokter Mita dan Psikolog melaporkan hal ini kepada kepala sekolah, dan Bu Rini diberikan cuti. Anak didiknya mensuport terus memberi semangat. Sebulan Bu Rini menjani cuti masa pemulihan dengan psikoterapi, konseling, dan treatment, memperbaiki pola makan, dan menjaga mood, akhirnya Bu Rini kembali bisa membuka laptopnya. Beliau tetap semangat untuk mengikuti sayembara menulis buku panduan pembelajaran jarak jauh bagi para guru, dan beliau mendapat penghargaan dengan hadiah sebuah laptop.
Cerpen yang berjudul "Guru yang Depresi Akibat Pandemi" sebenarnya terbaca apa ending dari cerpen tersebut. Tetapi penyebab depresinya tidak 100% karena pandemi, ada hal lain yang mendorong peristiwa itu terjadi, yaitu karakter dari si tokoh yang memang selalu menginginkan yang terbaik, perfeksionis, dan kerja kerasnya yang tidak terkendali. Bahasa yang digunakan sederhana, tidak ada yang sulit, hanya ada beberapa istilah asing yang memang itu muncul pada masa pandemi yaitu istilah-istilah IT yang ada hubungannya dengan kegiatan pembelajaran masa pandemi. Istilah itu tidak asing sebenarnya bagi guru-guru yang memang mau belajar meningkatkan skill mengajarnya dengan IT yang lebih baik lagi dari yang biasa.
Penulis dengan jeli membidik karakter guru yang perfeksionis mendapat serangan depresi karena kecewa dengan keberadaan perangkat yang kurang mendukungnya dalam pembelajaran yang sudah dirancangkan dengan ekspektasi tinggi. Didukung dengan sebatangkaranya yang membuat seseorang jarang bersosialisasi karena masa pandemi. Lengkap sudah penyebab sebuah peristiwa terjadi. Keren cerdas menghubungkan beberapa kekurangan sebagai alur suspense yang sedikit membuat menyebalkan karena guru yang berkarakter seperti.
Kelemahan pada buku "40 Wajah Korona" adalah jenis kertas yang digunakan kurang bagus, tulisan menjadi kurang begitu terang, seperti pecah. Karena permukaan kertas tidak halus dan warnanya tidak putih terang, tapi putih tulang. Selain itu, tema yang ditulis pada buku '40 Wajah Korona" ini tidak dikelompokkan berdasarkan umur pembaca, padahal isinya ada khusus cerita tentang anak-anak sebagai siswa, ada cerita yang pantas dikonsumsi orang dewasa.