Mohon tunggu...
Lilis Anggraeni
Lilis Anggraeni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Seorang mahasiswa Jurnalistik yang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Sentral Akidah dalam Pembentukan Akhlak Muslim

14 Oktober 2023   19:44 Diperbarui: 26 Desember 2023   00:44 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang pria berdzikir (Sumber foto: @freepik)

Umat muslim di seluruh penjuru dunia pasti mengenal salah satu pokok ajaran Islam ini, yaitu rukun iman. Pada dasarnya, rukun iman diperkenankan kepada umat muslim sebagai bentuk keyakinan mengenai Tuhan-Nya, kitab-Nya (Al-Qur'an), malaikat-Nya, rasul-Nya, hari akhir, serta qada dan qadar. Apabila seorang muslim mampu membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota tubuh keenam poin rukun iman tersebut. Maka ia sudah mencapai pada akidah-Nya, dimana keimanan itu sudah mengakar ke dalam jiwa, hati, dan raga.

Secara etimologi, istilah akidah berasal dari berbagai kata dalam bahasa Arab. Pertama, al-'aqd yang berarti simpul atau tali. Kedua, al-'uqdah yang berarti ikatan yang kuat. Dan ketiga, 'uqud yang berarti dasar, pondasi, dan fundamental. Apabila disimpulkan secara sederhana, akidah merupakan ikatan tali yang mengokohkan pondasi (bangunan). Ikatan tali yang dimaksud di sini ialah keyakinan yang dibuktikan oleh hati, ucapan, dan perbuatan. Sementara pondasi adalah bukti eratnya ikatan tali tersebut sehingga pondasi dapat berdiri kokoh (akidah).

Lebih lanjut, iman itu bersifat dinamis sedangkan akidah bersifat statis. Dimana iman dapat dengan mudah menaik-menurun dan kemudian akan menempatkan kita pada posisi tertentu, yaitu kuat atau lemah. Sehingga dapat kita pahami bahwa akidah adalah tali iman yang mengikat kuat di dalam hati, mengokoh pada jiwa, dan merupakan dasar terbentuknya kepribadian muslim, baik itu yang tercermin pada sikap personal maupun sikap sosial. Selain itu, tercermin juga pada perilaku, baik itu perilaku personal maupun perilaku sosial.

Dengan demikian, dalam akidah terdapat iman dan akhlak baik itu dari hati, jiwa maupun raga dari seorang individu. Hal itu menunjukkan bahwa akidah seorang muslim terbentuk oleh iman dan amal saleh. Iman dapat dilihat dari bagaimana seorang muslim meyakini zat Allah Swt termasuk Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta, dan tempat kembalinya umat manusia. Sedangkan amal saleh merupakan wujud dari akhlak dan terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, amal saleh terhadap Allah Swt, yaitu menjalankan ibadah dan ajaran Islam, menjauhi dan meninggalkan larangan-Nya, dan memelihara nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, amal saleh terhadap sesama yang bisa kita wujudkan dengan memelihara hubungan sosial, seperti toleransi antar sesama, tidak saling mencemooh, saling menolong serta peduli antar sesama, dan sebagainya. Dan yang ketiga, amal saleh terhadap lingkungan alam mulai dari menyiram tanaman, tidak menebang pohon berlebihan, menanam pohon dan tumbuhan, menyayangi hewan, dan sebagainya.

Maka itu, pada penjelasan di atas menerangkan bahwa akidah merupakan penyangga, pondasi, dan landasan bagi akhlak. Seseorang tergerak hatinya untuk melakukan dan mengaktualisasikan akhlak (amal saleh) tak lain karena iman. Dari situlah iman mulai mengakar hingga terbentuk pondasi kuat berupa akidah. Dengan akidah yang mengakar kuat dalam jiwa, menerangi hati, dan menguatkan raga. Seorang muslim memiliki tujuan hidup yang jelas, keteguhan hati, tidak putus asa, istikamah, dan mampu mengendalikan diri dalam menghadapi berbagai kekuatan yang menggoyahkan pendirian muslim.

1. Memiliki Tujuan Hidup Jelas

Tujuan hidup mendorong manusia dalam membangun, membina, dan menjalankan kehidupannya, baik itu untuk kepentingan dunia maupun di akhirat nanti. Perlu diketahui bahwa ada dua golongan manusia, yaitu manusia yang tujuan hidupnya dunia saja dan manusia yang tujuan hidupnya dunia dan akhirat. Hal yang membedakan dua jenis manusia ini ialah akidah dalam diri manusia tersebut. Golongan yang hanya mementingkan dunia saja ialah yang tidak beriman kepada Allah Swt dan hari akhir. Sedangkan, golongan yang mementingkan baik dunia dan akhirat ialah yang beriman kepada Allah Swt dan hari akhir.

Manusia yang berakidah akan mengisi kehidupannya untuk hal-hal bermanfaat bagi kehidupan di dunia dan juga akhirat. Di antaranya mencari ridha Allah Swt, berjuang untuk kepentingan dunia dan tak lupa juga menjalankan ibadah dan ajaran Allah Swt, memaknai kehidupan melalui kegiatan yang positif seperti, amal saleh, berkarya, dan bekerja, dan mengorientasikan hidupnya untuk kepentingan dunia dan akhirat dengan seimbang.

2. Keteguhan Hati

Seorang individu muslim yang beriman ialah yang memiliki keteguhan hati untuk mencari ridha Allah Swt. Mereka lebih memilih mengutamakan usaha, jalan baik, dan perjuangan dalam mencapai kebahagiaan dunia yang berbalaskan juga di akhirat nanti. Namun, berbeda dengan seseorang yang hanya memikirkan kebahagiaan dunia saja. Mereka melakukan sesuatu hal tanpa menilai baik atau buruknya usaha yang dilakukan, jalan yang ditempuh serta tujuan yang diperjuangkan.

Kualitas seorang muslim sendiri tidak hanya ditentukan dari segi fisik, intelek, dan lingkungan, tetapi juga ditentukan oleh kualitas akidah yang tertanam kuat dalam dirinya. Oleh karena itu, keimanan seorang individu ialah kunci kualitas yang akan mempengaruhi cara ia bekerja, belajar, mencari jawaban tugas sekolah, menjalankan kekuasaan, berteman, dan sebagainya. Dengan itu, seorang muslim yang mampu menanamkan iman pada dirinya akan senantiasa terhindar dari perilaku buruk, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, menyontek, membohong, menuduh orang lain, dan perilaku buruk lainnya yang merugikan sesama dan bahkan mendatangkan dosa baginya.

3. Tidak Putus Asa

Seorang muslim yang senantiasa menancapkan akidah dalam dirinya tidak mudah menyerah, menyalahkan, bahkan berburuk sangka kepada Allah Swt. Melainkan ia akan berdoa dan meminta pertolongan atas cobaan hidup ini dengan selalui bertawakal. Selain itu, ia juga akan berusaha dan tidak kenal lelah untuk terus mencoba atau bahkan mencari jalan lain dengan selalu berikhtiar. 

Sesungguhnya Allah Swt ialah Maha Adil yang tidak memilah dan memilih kepada siapa akan membebani ujian dan cobaan. Maka itu, kokohnya iman, lurusnya ibadah, dan eratnya akhlak tidak memastikan manusia itu sendiri akan terbebas dari ujian dan cobaan. Karena Allah Swt menghendaki ujian dan cobaan tersebut untuk mengukur dan menguji sejauh mana tingkat keimanan hamba-hamba-Nya. Namun, kerap kali manusia tidak sadar dengan hal itu dan menganggap bahwa ujian dan cobaan ialah tanda Allah tidak mendengar doa-doa dan melihat ibadahnya. Itulah yang membuat keimanan rentan tergoyah akibat tidak mengakarnya iman tersebut pada jiwa, hati, dan raga.

4, Istikamah

Ditinjau secara etimologi, istikamah atau istiqamah terbentuk dari Masdar (kata benda) 'istiqama-yastaqimu-istiqamah yang berarti bersikap tegak, lurus, dan stabil. Apabila dijelaskan secara sederhana, kata tegak mengartikan bahwa ia bersifat teguh pada pendirian. Lalu untuk kata lurus maksudnya ialah selalu melihat ke depan dan terus berjalan. Kemudian, kata stabil bermaksud pada konsistensi seseorang dalam memegang teguh keputusan.

Lebih lanjut, istikamah bisa kita maknai juga dengan kata konsisten. Sikap konsisten diperlukan untuk melahirkan sikap kekokohan, keunggulan, dan kesuksesan. Sehingga pribadi muslim baik itu individu maupun kelompok, memiliki sikap kokoh, kuat, dan gigih dalam menekuni perkerjaannya yang kemudian melahirkan karya-karya unggulan. Karena keunggulan inilah memotivasi mereka untuk terus berjalan hingga pada titik kesuksesan.

Selain itu, istikamah juga ialah bentuk usaha seorang muslim dalam meneguhkan hatinya agar tidak tergoyahkan akidahnya, meluruskan jalan ibadahnya, dan memperkuat muamalanya. Intinya, istikamah berupaya membentuk pribadi muslim dengan sikap ketangguhan, kesabaran, dan kestabilan.

5. Pengendalian Diri

Pengendalian diri bertujuan untuk keberlangsungan hidup manusia dalam upaya meminimalisir segala bentuk risiko agar terhindar dari kerugian, kehilangan, dan penyesalan. Dalam perspektif Al-Qur'an, menerangkan bahwa pengendalian diri didasarkan atas beberapa hal, yaitu 1) perasaan takut akan ganjaran, keadilan, dan pengawasan Allah Swt terhadap makhluk-makhluk-Nya, 2) mengorientasikan pada hawa nafsu agar tidak melanggar etika, moral, serta susila, abai dengan akal sehat dan hati nurani, dan merugikan sesama manusia, 3) meyakini dan mengingat bahwa Allah Swt menjanjikan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi orang yang mampu mengendalikan dirinya.

Selain itu, pengendalian diri juga berpengaruh pada stabilitas kerpibadian seorang individu. Seseorang yang mampu mengendalikan diri ialah yang tidak memaksakan diri untuk melakukan suatu perbuatan, keputusan, atau kebijaksanaan untuk hal yang di luar kendalinya. Lalu kemampuan mengendalikan diri berfungsi sebagai bentuk batasan kita agar tidak dengan mudah menilai baik buruknya seseorang, memandang dirinya paling benar, hingga melupakan keagungan sang Maha Kuasa Allah Swt.

Penulis: Lilis Anggraeni

Bapak Asep Usman Ismail

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun