Mohon tunggu...
Lilik Ummu Aulia
Lilik Ummu Aulia Mohon Tunggu... Lainnya - Creative Mommy

Learning by Writing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menilik Penerapan Kesetaraan Gender di Negara-negara Nordik

28 Maret 2021   11:24 Diperbarui: 28 Maret 2021   11:28 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah nordik merujuk kepada negara-negara yang terletak di Eropa Utara. Nordik ini meliputi negara Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia, Islandia, dan Kepulauan Faroe. Negara-negara nordik ini biasanya disebut sebagai norden.

Sejak tahun 1960-an dan 1970-an, negara-negara nordik telah membuat kebijakan yang mendorong para perempuan masuk dunia kerja. Sejumlah kebijakan pun disusun untuk menciptakan kesetaraan dalam hal pengasuhan anak. Implikasinya, semakin banyaknya para bapak yang tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangga dan anak (norden.org, 04/02/2021).

Adanya kebijakan yang berbasis kesetaraan gender ini, mendorong para perempuan akhirnya lebih fokus untuk mendapatkan pendidikan demi menguasai keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Kemudian, mereka akan mengejar karir terlebih dahulu, sebelum memutuskan untuk memiliki anak.

Program keluarga berencana menjadi sesuatu yang akhirnya diminati oleh para perempuan norden. Meskipun kehadiran dan keberadaan anak diterima di tengah-tengah masyarakat norden, namun merencanakan apakah akan memiliki anak ataukah tidak merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat tersebut. Pasalnya, pengorbanan waktu, tenaga, bahkan karir mungkin akan dilakukan demi melahirkan dan mengasuh anak-anak.

Hal lain yang juga menjadi implikasi kebijakan berbasis gender ini adalah semakin bertambahnya usia orang tua yang memiliki anak pertama. Jumlah pasangan yang memiliki anak pertama di usia di bawah 25 tahun semakin berkurang. Sebaliknya, pasangan yang memiliki anak pertama di usia 35 tahun ke atas semakin bertambah. Sedangkan rata-rata pasangan norden memiliki anak pertama pada usia 30 tahun.

Seiring berjalannya waktu, kebijakan berbasis kesetaraan gender di norden ini mulai terasa dampaknya . Tingginya angka perceraian di kalangan pasangan yang menikah, mewarnai kehidupan masyarakat norden. Padahal, pasangan yang bercerai tersebut dalam kondisi finansial yang baik. Selain itu, dalam laporan amnesti internasional menyebutkan bahwa terdapat tindak kekerasan seksual tingkat tinggi terhadap perempuan norden. Tercatat sebanyak 24.000 perempuan menjadi korban pemerkosaan atau upaya pemerkosaan di Denmark pada 2017. Sedangkan di Finlandia, tercatat sebanyak 50.000 perempuan mengalami kekerasan seksual (insider.com, 16/04/2021).

Sebelumnya, norden dikenal sebagai negara pioner dalam rata-rata kelahiran. Saat ini, hanya Kepulauan Faroe yang rata-rata kelahirannya masih melebihi rata-rata kematian penduduknya. Sementara, islandia hanya dalam waktu satu dekade, rata-rata kelahiran per wanita telah turun dari 2,2 menjadi 1,7. Rata-rata kelahiran di Swedia dan Norwegia berada di bawah rata-rata kelahiran di Uni Eropa (1,5). Sedangkan Finlandia dan Denmark hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata kelahiran di Uni Eropa. Rata-rata kelahiran di Finlandia sebesar 1,76 dan rata-rata kelahiran di Denmark sebesar 1,72 (norden.org, 04/02/2021).

Semakin kecilnya angka rata-rata kelahiran penduduknya, saat ini, norden tengah menghadapi masalah penuaan penduduk. Jumlah penduduk usia tua semakin bertambah. Sebaliknya, jumlah penduduk usia muda semakin berkurang. Fakta yang demikian, tentu menjadi masalah bagi sebuah negara. Pasalnya, jika penuaan penduduk tersebut terus berlanjut tanpa ada regenerasi, maka negara norden berpotensi akan punah.

Munculnya gerakan kesetaraan gender akibat penindasan sistem kapitalisme-sekulerisme telah membawa keresahan tersendiri bagi negara-negara di kawasan Eropa Utara ini. Penghargaan sebagai negara terbaik penerap kesetaraan gender tentu tidak akan berarti jika sewaktu-waktu masyarakatnya punah tanpa bisa regenerasi lagi.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita bijak memilih. Ikut tergerus oleh arus gerakan kesetaraan gender, ataukah menciptakan arus pergerakan lain yang mampu menyelesaikan seluruh masalah kita, termasuk masalah perempuan. Pasalnya, ide kesetaraan gender ini ibarat racun berbalut madu. Sedikit manisnya, tetapi efeknya mengerikan dan menghancurkan. 

Selain itu, jika kita melakukan analisa lebih mendalam, sejatinya masalah yang kita hadapi saat ini bukan disebabkan karena dunia dipimpin oleh laki-laki atau perempuan. Tetapi, saat ini dunia sedang berjalan menuju jurang kehancuran karena dominasi sistem kapitalisme-sekulerisme. 

Alhasil, jika kita ingin melindungi dan memuliakan perempuan, jika kita ingin mensejahterakan perempuan, maka hendaknya kita mencabut sistem kapitalisme-sekulerisme yang menjadi sumber bencana bagi perempuan. Menggantinya dengan sistem yang barokah. Sistem kehidupan yang menerapkan islam secara kaffah. 

Wallahu a'lam bish showab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun