Mohon tunggu...
lilik krismantoro
lilik krismantoro Mohon Tunggu... -

rindu semua persahabatan yang mengabdi pada kemanusiaan, dan memperjuangkan martabat kehidupan !

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sesaji Raja Suya : Kisah Kuda dan Manusia

19 Juni 2017   23:46 Diperbarui: 20 Juni 2017   00:09 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Pernah dimuat di KOMPAS TEROKA 2008)

Sesaji Raja Suya

Lakon wayang Sesaji Raja Suya bertutur tentang sebuah upacara purba aswamedha. Seekor kuda dilepaskan Prabu Yudhistira untuk mengembara sebebas-bebasnya dan menapakkan kaki kemanapun ia inginkan. Dan kemanapun kuda itu pergi, menjadi tugas dari pasukan Pandhawa yang mengikuti perjalanan sang kuda, untuk berperang menaklukkan negeri itu.

Yang tak banyak diketahui orang di balik kisah purba versi Jawa ini adalah bahwa kisah-kisah Indo-Arya seperti Mahabharata, Ramayana, dan tradisi Vedic lainnya muncul tak berselang lama dari domestikasi kuda pertama oleh bangsa-bangsa Indo-Eropa pengembara di sisi timur stepa Asia Tengah 4000 SM dan tersebar luas pada 3000 SM. Bangsa Indo-Arya sendiri adalah sub famili Indo-Iranian dari famili Indo-Eropa.

Sekitar tahun 5000 SM mereka terusir dari dataran rendah yang subur di tepian Laut Hitam purba. Banjir raksasa dari luapan air Laut Tengah akibat pencairan es kutub di jaman Pleistosen akhir menaikkan permukaan laut, meluap melalui selat Bosphorus membanjiri Laut Hitam, dan mengubahnya dari danau air tawar menjadi bagian ari Laut Tengah.[1] Sejak itulah gelombang demi gelombang famili ini bermigrasi ke seluruh penjuru mata angin. Terserak ke barat memadati Eropa, tersebar ke timur beraduk dengan bangsa stepa Asia Tengah menjadi subfamili Indo-Iranian, terserak lagi ke pegunungan Hindukush sebelum akhirnya masuk ke lembah Indus, sebagai Indo-Arya, dan mendesak Dravida.

Di gunung-gunung perhentian dari perjalanan panjang penuh peperangan inilah, Sang Arjuna memanah menghancurkan tambur besar milik raja Jarasandha, pemberi isyarat bahaya di puncak bukit pertahanan kerajaan Giribajra.

Ibu Pertiwi dan Bapa Akasa

Tradisi kesatriaan Arjuna, gunung-gemunung peperangan, dan kisah pengembaraan kuda hanyalah artefak-artefak terserak dari kisah lain yang tersembunyi dari milenia ke milenia, kisah petualangan manusia dan kuda, nalar dan instrumen, yang membentang membentuk narasi dan definisi ketuhanan, kekuasaan, dan makna kehidupan.

Beberapa ribu tahun sebelumnya, Revolusi Neolithik 10.000-7000 SM menandai penyeberangan ras manusia dari kehidupan nomaden menjadi menetap dan agraris, menandai lahirnya perjumpaan intensif dan ritualistik manusia dan alam, secara teologis termanifestasikan dalam kemunculan Allah Ibu, secara politis melahirkan konstruksi kekuasaan agraris, sebuah bentuk purba dari kerajaan totalitarian dan peradaban pertanian (Indus, Sungai Kuning, Efrat-Tigris, dan Nil). Revolusi yang menggelar permadani masyarakat agraris Neolithik pra Invasi Indo-Eropa.

Domestifikasi kuda, memberi makna kontinental dari migrasi besar Indo-Eropa ini. Kontinental dalam dua arti, pertama ukuran spasial dari migrasi, kedua, taraf kedalaman revolusi kebudayaan yang lahir darinya. Penjinakan yang menggulung kembali permadani peradaban Neolithik.

Pencerabutan geografis akibat migrasi yang difasilitasi kuda sebagai instrumen mobilitas ras manusia memunculkan konsekuensi yang tidak sepele. Dialektika manusia-alam retak lantaran lenyapnya rumah ekologis dan antropologis. Muncullah nomadenisme baru, masyarakat yang sedenter dalam kultur tani purba di Kaukasus, kembali menjadi nomadik. Yang terjadi adalah intensifikasi subyek dalam kilasan pengalaman yang terus berganti dalam pegerakan bangsa-bangsa melintasi ruang. Terjadi inflasi teknologi akibat intensifikasi nalar dan elaborasi penggunaan alat.

Tuhan pun bergeser dari bawah ke atas, dari tanah ke langit. Karena bintang-bintang adalah satu-satunya yang tetap untuk menjadi rujukan, maka munculah dyeus ph2tr, sky father, bapa akasa,atau dalam bahasa yang lebih kita akrabi, Zeus pater, Deus, dan Jupiter. Dan politik ? Politik bergeser dari totalitarianisme teritorial yang dirajut dalam kesatuan kosmik, menjadi terkait erat dengan identitas tribal dan hubungan darah. Dari matrilineal atau setidaknya egalitarian, menjadi patrilineal. Dengan pasukan-pasukan yang lincah merambah ruang, melintasi stepa-stepa, menghancurkan desa-desa, merebut kota-kota.

Tuhan, kekuasaan, ataupun makna kehidupan, semua tunduk dalam dialektika manusia dan alat di bentang alam, lebih spesifik lagi, bagaimana dialektika manusia dan alat itu membentuk cara pandang terhadap alam dan cara menggulati kehidupan.

Persetubuhan manusia dan kuda

Persetubuhan manusia dan kuda, kisah Pandhita Durna yang harus mensetubuhi kuda untuk untuk bisa sampai ke nusa Jawa, adalah kisah kita yang sejati. Persatuan manusia dan alat, adalah mesin besar yang membawa homo sapiens sapiens berziarah melintasi ruang fisik, ruang makna, dan ruang budaya. Tidak terpisah melainkan satu, yakni cyborg, cybernetics organism. dalam terminologi feminist postmodern Donna Harraway. Di sinilah Tuhan, kekuasaan, ataupun makna kehidupan didefinisikan, dalam persepsi ekologis-antropologis dalam petualangan manusia di atas punggung kuda.

Inilah bangsa yang kemudian berkuasa, yang bisa mengamini ambiguitas sebagai pangkal kelahirannya, yang menguasai kecekatan purba dan tak terjebak pada perdebatan makna, nilai, atau otentisitas diri yang berlama-lama. Pemuja tradisi fisik, bukan karena kenikmatannya, tetapi karena penerimaan bahwa materialitas hidup itulah yang mendefinisikan kebudayaan dan kemanusiaan kita. Bahwa tidak selayaknya  manusia terpenjara di kepalanya sendiri, dan bahwa sejatinya perjuangan menyejarah adalah sebuah ragawidya.Perjuangan bajik dari jiwa dan raga.

Bangsa-bangsa perkasa bersenjatakan pedang dan panah, terserak di bentang kontinental Asia Tengah, dari stepa Rusia hingga Mongolia. Dari rahim kebudayaan stepa, beribu hidup yang keras di tanah tandus, lahirlah dua kasta menengah yang sangat penting bagi jaman kita : ksatria dan waisya, prajurit dan pedagang. Keduanya berkawan karib sejak kafilah merintis Jalan Sutra hingga jaman para cowboy penunggang kuda di era Wall Street di bumi Barat yang liar. 

Maka wajar bila dunia mengenal mereka secara ambigu : pahlawan besar peperangan dan perampok-penghancur agung kebudayaan, mengalahkan imperium-imperium mulai dari Mediteranian, Romawi, hingga dinasti Fatimiyah di Bagdad. Itulah mengapa ia dimonsterkan sebagai centaur di bukit-bukit Thessalonika dan Arkadia di Yunani, bertubuh kuda berkepala manusia, tetapi juga menjadi guru-guru pahlawan Yunani purba, Achilles, Hercules, Jason, dan Asclepius.

Pembunuh, perampok, satria, dan waisya, mereka dibintangkan Zeus sebagai Sagitarius di angkasa.

*Cyprianus Lilik K. P., peminat kajian kebudayaan, tinggal di Yogyakarta

[1] Lihat anonim, Born of the Black Sea : The Indo-European Invasions, www.solargeneral.com/library/The%20Indo-European%20Invasions.doc, download 29 Juni 2008,  lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Black_Sea_deluge_theory

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun