sejenak merenungkan iman, pengetahuan, dan kemanusiaan
bersama St. Albertus Agung dan Walter M. Miller, Jr
gambar : Wikipedia
A Canticle for Leibowitz
Dalam novel legendarisnya A Canticle for Leibowitz, Walter M. Miller, Jr, menuturkan sebuah kisah ordo biarawan imajiner masa depan bernama Albertian Order (ordo Albersian), yang didirikan oleh Isaac Edward Leibowitz, seorang insinyur listrik yang bekerja di militer AS yang akhirnya memilih menjalani hidup religius. Mereka mengabdikan diri pada pelestarian pengetahuan ilmiah yang nyaris punah setelah perang nuklir.
Gelombang anti teknologi yang menyebar pasca perang nuklir yang terjadi di bumi di masa depan menyebabkan pembantaian besar-besaran terhadap kaum ilmuwan dan pemusnahan terhadap segala bentuk pengetahuan. Barangkali duka yang begitu dalam telah membuat mereka tak mampu merenung lebih dalam. Bahwa pengetahuan hanyalah alat, manusia yang memberi makna dan tujuan. Manusia menulis sendiri kiamat dan surganya.
Dan sebagaimana setiap jaman melahirkan bentuk-bentuk penghayatan kaum religius yang khas[1], demikian juga dunia pasca perang nuklir melahirkan Ordo Albersian. Leibowitz sendiri memilih menggunakan nama Santo Albertus Magnus sebagai pelindung utama ordo religiusnya. Dan para rahib Albersian memilih menjaga pengetahuan sebagai tugas perutusannya yang utama. Tepat ketika pengetahuan dibenci dan harus dimusnahkan, para rohaniwan ini berada di garda terdepan untuk menyelamatkan nalar, bila perlu dengan nyawa mereka sendiri.
pengungsian pengetahuan
Mengapa Ordo Albertian berjuang ? Mengapa pengetahuan harus diselamatkan ? Karena dalam pengetahuan ada kebudayaan dan kemanusiaan. Lewat pengetahuan manusia memberi makna pada dirinya sendiri. Lewat pengetahuan manusia mampu merenungkan baik dan buruk. Lewat pengetahuan manusia bertemu sesamanya. Karena pengetahuan bukan hanya setumpuk informasi, tetapi harta dan kontribusi yang dibangun dengan penuh perjuangan oleh kemanusiaan bermilenium-milenium lamanya.
Barangkali bahkan mereka sampai pada titik kesadaran, betapa pengetahuan sejatinya merekam refleksi diri kemanusiaan, sebuah kitab suci dimana kebenaran malu-malu menyembunyikan diri, setelah terkapar oleh positivisme berabad-abad sebelumnya. Sebuah alkitab yang tak tertulis sempurna. Bahkan mungkin, berkali-kali wajah Tuhan menampakkan diri tanpa pernah kita kenali jejaknya.
Dan mereka, Ordo Albersian, para perenung peradaban yang menjalani kehidupan tidak hanya dalam hiruk pikuk, tetapi juga permenungan di tengah keheningan, sempat menemukan cercah-cercah kesucian itu terpancar di celah-celah rasionalisme pengetahuan. Dan pengetahuan harus berhadapan dengan tragedi satir dan harus berterimakasih karenanya : mereka diselamatkan karena jejak-jejak cinta, nilai, dan irasionalitas yang tersisa yang gagal dibersihkan oleh mesin metodologi ilmiah.
Selanjutnya, dalam bentuknya yang paling profan, pengetahuan menyediakan sarana-sarana teknik untuk memajukan kemanusiaan. Dalam pengetahuan tersembunyi anak-anak tangga untuk mengangkat kemanusiaan dari penderitaan dan ketidakadilan. Dan dengan demikian mengkuduskan kehidupan.
A Canticle for Leibowitz adalah sebuah kidung pengungsian, ketika pada suatu jaman, pengetahuan menjadi terlalu lemah dan rapuh oleh ketamakan para perampok kesadaran, hingga ia harus dirawat oleh para Samaria yang baik hati.
seni mengendalikan naga
Tetapi mazmur duka itu ternyata belum berakhir, di bagian ketiga novel itu, Fiat Voluntas Tua, di tahun 3781, ketika manusia sudah kembali menguasai teknologi, perang nuklir dalam tingkat yang jauh lebih ekstrem kembali berlangsung dan menyebabkan kehancuran total pada seluruh planet. Ordo Albertian dengan restu dari Vatikan menjalankan protokol sangat rahasia untuk kembali menyelamatkan pengetahuan, dengan bahtera intergalaktik Nuh mengungsikan secara besar-besaran warisan pengetahuan ke koloni-koloni manusia di sisi lain alam semesta... .
Secara menakjubkan, Walter M. Miller mengajak kita menerima bahwa kedukaan itu bisa berulang. Pengetahuan bisa terus-menerus melahirkan kematian secara sirkular, jika ia dikemudikan oleh nafsu akan kekuasaan dan ketamakan. Tragedi Menara Babel akan kembali terjadi, bila pengetahuan dan kekuasaan gagal dikendalikan oleh keheningan.
merajut keutuhan panggilan pengetahuan
Bagi seorang Albertus Magnus, cendekia agung dari Koln yang menginspirasi ordo religius Leibowitz, guru dari segala pengetahuan jauh sebelum ilmu pengetahuan modern menemukan bentuk institusionalnya, pengetahuan tidak hanya bermakna fungsional tetapi juga moral, bahkan spiritual.
Setiap ilmu dan pengetahuan berasal dari Allah. … Tidak seorangpun bisa mengatakan Tuhan Kita Yesus Kristus tanpa mengandaikan Putra dari Allah Bapa oleh karya dan rahmat Roh Kudus. Demikian pula ilmu pengetahuan tak bisa dipisahkan dari Dia yang menyampaikan itu semua kepadaku. (St. Albertus Agung, The Compound of Compounds)
Ada segitiga yang hidup dalam diri Santo Albertus Magnus, sang pujangga Gereja itu : iman-pengetahuan-pelayanan/pengabdian. To love, to know, to contribute. Inilah yang terentang sepanjang karya-karya Albertus Agung, mulai dari ilmu mineral, binatang, perbintangan, hingga bisnis, sastra, dan tentu saja, teologi. Itu mengapa iman dan pengetahuan berjalan beriringan mengungkap Cinta dan Kebenaran.
Bagaimana segitiga itu juga hidup dalam diriku dan dirimu ? Dalam cara kita menghidupi dan merawat pengetahuan ? Ya pengetahuan yang dalam penemuan Foucault selalu berdwitunggal dengan kekuasaan itu ? Bagaimana ia menjadi habitus dalam praksis pengetahuan kita ? Terajut menjadi satu dalam kegairahan untuk tumbuh (passion to grow)? Untuk memastikan bahwa bersama dengan pertumbuhan pengetahuan dan pertumbuhan kita bersamanya kita semakin mengasihi Allah, menjadi cinta bagi sesama, dan mengembangkan kebudayaan bersama ?
Hidup dalam dan bersama pengetahuan di jaman ini
Walter M. Miller telah mengajak kita untuk mengerti akan tragedi pengetahuan masa lalu dan masa depan, Santo Albertus Agung bertutur tentang bagaimana membangun habit etis untuk mengelola dan menyemai praksis pengetahuan, tetapi saat ini, kita berhadapan dengan tantangan pengetahuan dalam skala dan kedalaman yang belum pernah ada sebelumnya : bagaimana di tahun 2016 di dunia maya kita menghadapi 110,3 exabyte data setiap bulannya[2], bagaimana mensiasati pengetahuan yang hidup dan hadir 24 jam dari berbagai pelosok dunia yang bisa merubah wajah sejarah setiap detiknya ?
Problem kita bukan lagi soal kelangkaan pengetahuan, bukan pula soal keterbatasan teknologi. Problem abadi soal moralitas pengguna dan penguasa pengetahuan tetap ada, tetapi kepada kita juga dihadapkan problem keterkelolaan pengetahuan (knowledge manageability) dan distribusi yang fair atas akses ilmu pengetahuan (knowledge distribution gap).
Quo Peregrinatur Grex Pastor Secum, tutur Walter M. Miller, Jr, kemanapun pergi kawanan, sang Gembala setia menemani. Kemanapun pengetahuan dan kemajuan teknologi membawamu, bawalah iman dan kasih di hatimu.
Barangkali, bersama dengan segitiga iman-pengetahuan-pengabdian, inilah resep terbaik yang kita miliki hingga saat ini, sembari kita tergopoh-gopoh menyusun ulang ratio studiorum bagi generasi. Bagaimana memastikan agar mereka bertumbuh tidak semata-mata menjadi pengemban (yakni emban, pengasuh) pengetahuan, tetapi juga pengemban kemanusiaan dan pengemban etika kehidupan. Bagaimana memastikan agar mereka mampu mengemban pengetahuan yang semakin kompleks dan luas itu supaya pengetahuan menjadi rumah yang indah bagi kemanusiaan dan peradaban.
Mengandaikan sebuah design etik dalam skala raksasa untuk bisa merespon tantangan kompleksitas dan keluasan pengetahuan barangkali hanyalah impian kosong belaka. Barangkali kita bisa menjelmakan harapan itu menjadi mantra-mantra sederhana, yang mengubah setiap anak-anak jaman yang mampu menghidupinya menjadi pengemban hati nurani di hadapan pengetahuan : kesadaran bahwa setiap kali pengetahuan itu dibagikan kepada seseorang, dibagikan pula kekuasaan atas nasib sesama dan alam kepadanya. Melatih mata hati dan melekatkan refleksi pada setiap lembar pengetahuan yang dibagikan.
Kepada mereka yang studi kedokteran dan farmasi, diberi pengetahuan untuk menentukan hidup mati seseorang, kepada seorang yang belajar genetika diberi kekuatan untuk menata ulang kode-kode segala makhluk, kepada mereka yang belajar atom dibuka wawasan tentang cara membuat energi untuk menggerakkan dan menghancurkan kehidupan, kepada mereka yang belajar IT diberi kuasa menulis program dan mengelola data yang menggerakkan semua benda, kepada mereka yang belajar politik diberkati dengan kemampuan untuk mengendalikan sistem sistem kekuasaan yang menguasai banyak orang. Kepada mereka semua kita menitipkan hidup kita.
Dan melampaui kecemasan-kecemasan itu, inilah saat terbaik kita untuk merenungkan kembali pengetahuan sebagai puisi-puisi jernih kesadaran, pengetahuan sebagai pengalaman dicintai Sang Pangkal Kehidupan, pengetahuan sebagai adorasi para cendekia kepada Penciptanya. Maka segenap kerja pengetahuan adalah kurban suci para intelektual peziarah jaman, tujuan pengetahuan adalah mengkuduskan kehidupan.
Tentang Santo Albertus Magnus
Lahir 1193-1207, meninggal 15 November 1280 di Koln, jerman
Santo Albertus Agung mendapat julukan Doctor Universalis karena wawasan dan sumbangannya yang sangat luas atas berbagai bidang ilmu pada jamannya. Ilmuwan sebelum era ilmuwan, melahirkan banyak
karya yang terentang mulai dari Teologi,logika, matematika, musik, bisnis, hukum, fisika, geografi, kimia, mineralogi, zoologi, hingga astronomi
Santo Albertus Agung menjalani studi di University of Padua, di mana ia bergabung dengan Dominikan. Ia mengajar teologi di Hildesheim, Freiburg (Breisgau), Ratisbon, Strasburg, dan Cologne.
Pada 1245 ia pergi ke Paris, dan meraih gelar doktor dan mengajar dari 1246 hingga 1248. Salah satu muridnya adalah Thomas Aquinas.
Di tahun 1254 Albertus Agung terpilih sebagai pempimin Provinsi Ordo Dominikan di Jerman. Pada tahun 1256 ia pergi ke Roma untuk membela para biarawan pengemis menghadapi serangan William dari St. Amour.
Albertus Agung mengundurkan diri dari posisi provinsial Dominikan Jerman pada 1257 untuk mengabdikan diirnya secara penuh pada studi dan pendidikan.
Di tahun 1260 di dipilih oleh paus menjadi Uskup Ratisbon (Regensburg). Menolak segala kemewahan uskup dan memilih berjalan kaki untuk mengunjungi umatnya sehingga dikenal dengan sebutan uskup pejalan kaki. Ia berhasil mendamaikan kembali permusuhan anatara Gereja dan rakyar biasa. Ia mengundurkan diri 3 tahun kemudian. Setelah sejenak tinggal di italia, beliau kembali ke Dominican Studium di Koln. Di situ ia tinggal hingga wafat dan dimakamkan di sana.
Yogyakarta, 5-6 Desember 2015
Cyprianus Lilik K. P.
*versi lisan dari teks ini disampaikan dalam weekend rohani “SIKLUS” bagi mahasiswa baru UPN Veteran Yogyakarta 2015.
[1] sepanjang sejarah iman Katolik, penghayatan religius senantiasa lahir merespon jaman : kerahiban di Mesir hingga Benediktin merespon Gereja yang terlalu bersekutu dengan kekuasaan, Dominikan berusaha membangun pengungsian kebudayaan dan pengetahuan ketika bentang masyarakat Katolik terpecah ke dalam kerajaan dan vassal-vassal, Fransiskan muncul ketika dunia terkena arus besar materialisme, Ignatian muncul merespon tantangan penjelahan dunia dan arus reformasi.
[2] 1 eksabit (EB) data sama dengan 1 juta terabit (TB). kira-kira sama dengan 3000 kali ukuran perpustakaan terbesar di dunia Library of Congress AS. 110,3 EB per bulan kira-kira sama dengan 66 ribu keping CD setiap detiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H