Mohon tunggu...
lilik krismantoro
lilik krismantoro Mohon Tunggu... -

rindu semua persahabatan yang mengabdi pada kemanusiaan, dan memperjuangkan martabat kehidupan !

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melampaui Bela Negara: Jalan Lain Nation Building

16 Oktober 2015   12:09 Diperbarui: 16 Oktober 2015   13:15 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Program bela negara kementerian pertahanan jelas bertujuan ideologis daripada praktis. Ia adalah senjata bermatra ganda : meneguhkan kembali kebangsaan pada tingkat metanarasi sebagai pengunci pertahanan nasional di lapis psikologis rakyat setelah bertahun-tahun lamanya keindonesiaan terabaikan bahkan terinjak-injak; kedua, dalam efek negatif terbukanya peluang manipulasi imaji kebangsaan oleh kekuasaan, yang membangun kembali peluang kontrol oleh paradigma keamanan terhadap masyarakat. Dan persis di ranah inilah suara minor bergema mengkritisi rencana kementerian pertahanan tersebut.

 momentum politik negara integralistik

Upaya untuk menguasai kembali imaji hidup bersama inilah yang mendapat penentangan kuat dari sebagian besar kalangan, khususnya aktivis gerakan sosial yang melihat ancaman menguatnya kembali militer dan negara vis a vis rakyatnya. Terlebih ia secara lebar membuka ancaman pelemahan lebih jauh rakyat vis a vis negara (dan pasar), yang notabene sangat terasa di tengah kelumpuhan gerakan hak-hak asasi manusia di Indonesia pasca 1998.

Di sisi lain, kementerian pertahanan cukup sabar menantikan kematangan (atau kelelahan?) masyarakat untuk menerima kembali gagasan negara kuat. Gagasan negara kuat sendiri Bela negara diandaikan menjadi prakondisi lahirnya kembali keindonesiaan yang selama ini terpinggirkan oleh fundamentalisme religius dan fundamentalisme budaya Barat. Fundamentalisme modal sendiri jelas dipandang secara ambigu di antara para pendukung gagasan negara kuat. Ada keretakan antara nasionalis romantis yang lebih mendukung nasionalisme ekonomi daripada pengusaha pendukung integrasi total pasar bebas.

Mengamini pembacaan Olle Tornquist tentang tiga kekuatan politik Indonesia pasca 1998, (lihat http://demosindonesia.org/wp-content/uploads/Demokrasi-di-Atas-Pasir.pdf ), kiranya ini adalah saat ketika para pendukung paham negara integralistik yang subur makmur di Era Orde Baru (yakni kekuatan nasionalis kanan dan nasionalisme romantis kulit berwarna) kembali tampil ke muka untuk menyelamatkan kembali kesatuan dan identitas bangsa Indonesia. Upaya politik ini tentu saja berusaha memanfaatkan kegelisahan minoritas dan Islam nasionalis, di satu sisi, serta kekuatan pengusaha di sisi lain, untuk menciptakan stabilitas nasional berbasis otoritas doktrin.

Tentu saja, konsep negara kuat di sini konvensional sifatnya, lebih dekat dengan imajinasi Mr. Supomo daripada kecenderungan arus balik penguatan kembali negara vis a vis fundamentalisme pasar akibat           kegagalan program ekonomi politik neoliberal. Sayangnya, dalam kultur politik dagang sapi  warisan Orde Baru yang terus kita hidupi dalam budaya politik kita saat ini, paradigma integralistik sebagai kerangka intelektual ini berjalin kelindan dengan kepentingan, identitas kolektif (kelas dan kasta sosial, misal : tentara), bahkan kebenaran eksistensial dalam nalar berpikir sebagian anak negeri ini. Meski sebagaimana penulis uraikan di bawah, ketahanan  nasional justru sangat terkait dengan kemampuan kita melucuti kemandegan nalar –kebenaran- semacam ini. ketahanan nasional pertama-tama adalah kerja intelektualisasi seluruh anak negeri, sebuah program politik kebudayaan yang dengan sadar dilakukan oleh Finlandia dan Israel berpuluh-puluh tahun lamanya.

 merentangkan nalar dan imaji ketahanan nasional

Saat ini kita hanya bisa mengkritisi gagasan bela negara tersebut dengan meraba-raba, menteri pertahanan belum memaparkan gagasan ini lebih mendalam dan konseptual. Namun menilik jejak masa lalu, penulis menduga ada dua hal yang mau direngkuh : menuliskan kembali keindonesiaan di tingkat narasi dan metanarasi, serta dengan ini melakukan pengelolaan keriuhan ideologi-ideologi demi tercapainya stabilisasi nasional demi berjalannya pembangunan nasional.

Keduanya tentu saja, benar dalam doktrin ketahanan nasional. Namun sejauh mana dontrin ketahanan nasional itu “benar” dalam konteks globalitas baru, itu lain persoalan. Dalam konteks ini, dalam era perpetual beta (ketidaksempurnaan diakui dan dihormati sebagai kodrat alami, dan perbaikan abadi adalah keniscayaan yang meluhurkan penciptaan), kritik terus-menerus sama pentingnya (bahkan jauh lebih penting dalam kerangka transformasi ke depan) dengan rumusan bela negara itu sendiri.

Namun bukan menjadi tujuan tulisan ini untuk melakukan kritik pada doktrin ketahanan nasional, penulis hanya tergerak oleh sebuah pertanyaan penuh imaji, bagaimana meneruskan negeri ini sebagai gagasan dan kenyataan 50, 100, bahkan 1000 tahun ke depan ? Bagaimana keindonesiaan diteruskan, diperjuangkan, dan dihidupi ditengah peradaban digital ? Ketika ruang maya semakin mendominasi pengalaman-pengalaman eksistensial manusia ? Ketika internet of everything melebur keduanya menjadi satu menjadi realitas hibrid ? Ketika manusia semakin (karena sudah) menjelma menjadi cyborg (cybernetic organism) ? Apakah bela negara menjadi instrumen yang sepadan dengan itu, atau kita membutuhkan pendekatan baru bagi masa depan keindonesiaan ?

 Ketahanan nasional : sinergi kewargaan kritis dan narasi kebangsaan

Kalau tujuan bela negara melalui pelatihan fisik di samping menyalakan kembali narasi kebangsaan adalah memberi kelincahan psikomotorik, ia tak cukup semata-mata membangun kesamaptaan, ia juga harus menyemaikan dua hal yang lain : solidaritas kemanusiaan dan kesiapsiagaan/kesigapan berpikir.

Dalam konteks ketahanan nasional penulis bahkan bisa mengamini wajib militer seperti di Korea Selatan, Singapura, atau Israel. Tetapi bagaimanapun juga ia harus dikelola secara pedagogis, bukan doktriner. Pedagogi mengembangkan manusia, menumbuhkan kemanusiaan, dan alat-alat berpikirnya; sebaliknya doktrin menekan sisi manusia dan menyederhanakan dengan represinya. Bela negara, yang jauh lebih ringan daripada wajib militer, harus dilihat dalam kacamata kekuatan kebudayaan. Ketahanan nasional harus diletakkan di tingkat peradaban.

Perlu juga diingat di negara-negara tersebut rekayasa psikomotorik diimbangi dengan kualitas pendidikan (yakni pembentukan warganegara sebagai subyek politik dan kultural) yang sangat baik, serta kualitas pemerintahan dan pejabat publik yang partisipatif dan sepenuhnya melayani warganya (dan dengan demikian meminimalisir abuse of power). Bahkan sangat kuatnya politik kewargaan yang mandiri dan berani di sebuah negara yang military-heavy seperti Israel, telah melahirkan kemampuan kewirausahaan (yakni start up di ranah teknologi tinggi) yang sangat berbeda antara negara tersebut dengan Singapura dan Korea Selatan. Tradisi cutzpah, yang menekankan keberanian kritis dan iklim kesetaraan di semua sektor kehidupan (bahkan di dalam lingkungan militer yang di negara lain umumnya sangat hirarkhis) berakar sangat mendalam.

Negara sekecil Israel mencatatkan jumlah perusahaan di NASDAQ lebih besar dari gabungan seluruh Eropa,  terbanyak ketiga setelah AS dan China. Narasi menjadi kuat ketika ia ditopang oleh kebebasan dan kemandirian berpikir. Membangun kultur kritis sama pentingnya dengan pembangunan narasi kebangsaan bagi kepentingan ketahanan nasional. Narasi kebangsaan membangun satu ruang imajiner, “kekitaan”, sementara kultur kritis melengkapinya dengan mesin untuk kedewasaan hidup bersama sebagai satu bangsa (adab), dan lebih jauh lagi, menghadirkan kultur intelektual sebagai mesin keadaban, pencapaian teknis, ekonomi, politik, dan kultural sebuah bangsa.

 Jalan Ki Hajar, jalan Syahrir

Subyek yang kuat adalah kunci dari bangsa yang kuat. Dan penguatan subyek mensyaratkan kesadaran dan kematangan kultural  yang tinggi.

Ada banyak bentuk nation building pasca hegemoni paradigma militeristik, mengulang dan menggarisbawahi peran kesenian dalam perjuangan sebuah bangsa, pendekatan artistik selalu bisa menggerakkan jiwa, sama hebatnya dengan sistem doktriner yang dikembangkan dalam pendekatan militeristik. Dan pesan-pesan artistik itu selalu menggema mulai dari lagu Indonesia Raya WR Supratman hingga poster-poster PERSAGI, mulai dari film Nagabonar hingga lagu Kebyar-kebyar Gombloh, mulai dari Anak Seribu Pulau Garin Nugroho hingga lagu Bendera Coklat. Dalam masa kampanye kepresidenan yang lalu kita juga dibanjiri interpretasi yang sangat kaya dan cerdas tentang keindonesiaan. Interpretasi yang sangat kaya dan cerdas tentang keindonesiaan, menandakan sebuah spirit kebangsaan yang sehat, lepas dari adanya sekelompok kecil anak bangsa yang lupa pada akar dan keadaban hidup bersama.

Barangkali, berhadapan dengan fenomena ini, demi cita-cita negara kuat (dan bangsa yang kuat), bangunan penegakan hukum yang sehat dan fair lebih dibutuhkan. Plus kepemimpinan nasional yang punya sikap, berkarakter, dan berani bertindak hingga mampu memberi keterarahan moral dan keutuhan role model anak bangsa yang berintegritas. Kunci negara kuat terletak pada kepastian dan konsistensi hukumnya. Kunci negara kuat terletak pada harga diri, keterarahan, dan solidaritas etis hidup bersama. Kunci negara kuat adalah teladan tindakannya.

Keragaman menyeruak dalam arus budaya baru, masa depan membutuhkan respon yang lebih kaya untuk menafsirkan bela negara. Kekayaan tafsir itu lebih dibutuhkan, untuk merespon tantangan kekinian dan masa depan yang terentang sangat lebar itu, untuk merajut bentuk-bentuk ketahanan nasional baru. Dibutuhkan kecerdasan-kecerdasan baru, di tengah dentuman ekonomi berbasis IT, pluralisasi narasi dan realitas, berseminya alat-alat sosial dan teknis baru, dan migrasi memasuki bentang peradaban baru. Dibutuhkan pribadi-pribadi nasionalis yang unik, cerdas, dan kongkrit untuk bisa merespon arus yang tak mungkin ditunda itu.

Di sinilah kita diundang kembali ke jalan ki Hajar Dewantoro, jalan Sutan Syahrir : membesarkan bangsa dengan cara pedagogis. Itulah jalan yang ditempuh oleh Finlandia sejak tahun 1970an. Bangsa yang dibesarkan dan dididik dalam sistem pendidikan yang memerdekakan kodrat dan hakekat kemanusiaannya dengan sendirinya akan memiliki produktivitas dan heroismenya sendiri.

Kita membutuhkan lebih banyak anak bangsa yang berani gelisah atas dunia sekitarnya. Di situlah lokus historis dari intelektual organik. Dan intelektual organik adalah ibarat kecambah yang mengubah dunia sekitarnya. Demikianlah negeri ini ditopang tidak hanya oleh satuan-satuan tempur yang paling maju, tetapi oleh pribadi-pribadi warganegara yang kuat dan kontributif. Setiap orang adalah agen dari bangsanya, kemajuan bangsanya. Keindonesiaan digerakkan oleh perenang perintis yang solider, mandiri, dan kreatif di deras arus teknologi informasi, di dalam peziarahan panjang menuju digital civilization.

Jalan Ki Hajar, jalan-jalan yang dahulu pernah dilalui perintis bangsa ini, sebuah jalan bernama literasi, di jalan-jalan ini kita menulis surat kepada Ibu Pertiwi.

Yogyakarta, 16 Oktober 2015

tulisan ini juga dapat dibaca di : http://krismantoro.blogspot.com/2015/10/melampaui-bela-negara-jalan-lain-nation.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun