Mohon tunggu...
Lilih Wilda
Lilih Wilda Mohon Tunggu... lainnya -

Ho ho ho

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terapi Yuk !

27 September 2015   21:22 Diperbarui: 27 September 2015   21:31 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Awalnya tertawa-tawa geli pas badannya dikelitik oleh terapis, ditengkurep terus disuruh bangun. Tapi lama-lama menjadi kesal lalu De Anin marah dan menangis kencang. Itulah kegiatan De Anin ketika terapi. Sampai terapisnya pernah bilang, "De kamu kebanyakan nangisnya daripada belajarnya." Haha emang bener, nangisnya De anin itu looo, merdu bener di telinga.

Ini adalah kunjung De anin yang kesekian menemui terapis, bila dr bertanya De Anin sudah bisa apa? Saya harus berfikir. Kira-kira kabar baik apa yang harus saya sampaikan. Karena perkembangannya begitu lamtbat bila dibanding dengan anak-anak normal.

Rasa kasihan dan iba harus dibuang jauh-jauh demi De Anin. Kalau saya tidak tega untuk melihat anak diguling-guling dan dilipat-lipat seperti sedang disiksa, kapan De Anin mau pinter, ya kan? iya aja deh.

Tumbuh kembang anak ABK khususnya penyandang tunanetra memang tidak akan sama dengan anak normal. Untuk anak yang seumuran De Anin harusnya sudah bisa berdiri bahkan berjalan. Tapi De anin belum bisa, karena untuk perkembangan motorik kasar dan halus seor ang anak harus ada singkronisasi antara indera penglihat dan indera pendengaran.

Begitu kata dr terapinya. Bukan kata saya lo ya

... Jangankan untuk mengajarkan berjalan. Untuk mengunyah saja, de anin belum mampu. Memegang makanan lalu memasukan kedalam mulut mungkin hal sepele bagi anak normal, tapi tidak bagi de anin. Solusinya, saya harus mau memberi stimulasi. Berhubung saya awam dalam hal ini, maka saya harus rajin mengunjungi terapis. Dalam keadaan begini barulah terpikir, bahwa menjadi orang tua ABK tidaklah mudah, apalagi penyandang itu sendiri pastilah berat menghadapi ini.

sebagai orabg tua ABK kadang kita selalu khawatir lalu membandingkan anak sendiri dengan anak orang lain. Supaya tidak galau, sebaiknya konsultasikan keadaan anak kita pada ahlinya. Yaitu dokter anak dan dokter terapi secara konsisten. Hasilnya memang tidak secepat kalau kita makan cabe langsung berasa pedasnya. Menterapi anak ABK butuh waktu dan kesabaran. Yang penting segala usaha sudah kita laksanakan. "Tinggal tangan Tuhan bekerja dengan caranya." Begitu sahabat saya sering menasehati saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun