ilustrasi: http://cencenacp.wordpress.com
Taman kota menjelang sore tampak menakutkan. Pohon-pohon tinggi dengan binatang malam mulai berterbangan di atasnya. Aku duduk di kursi tepat di bawah pohon oak. Entahlah mungkin sejenis itu, atau pohon mahoni aku tak mengerti benar, yang jelas pohon ini sangat tinggi dengan akar-akar kuat di bawahnya yang mencengkam tanah.
Aku mendongak ke atas, berharap mendapatkan ide menulis. Entahlah sepertinya tak ada yang bisa aku tulis. Mengapa otakku menjadi kosong dan tak bisa lagi berfikir. Kemudian aku melihat ranting-ranting yang bercabang kuat pada pohonnya, aaah malah membuatku ngeri dan takut untuk menengadah.
Sepertinya ini akan menjadi akhir dari karir menulisku, seorang penulis free lance di sebuah tabloid terbitan kota ini. Entah mengapa seperti ini, ataukah aku harus datang ketempat yang lebih sunyi lagi dari tempat ini untuk mendapatkan ide, kuburan mungkin? Otakku malah mengajakku untuk mencari tempat-tempat aneh yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya.
"Hey Sarah..." tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara laki-laki yang selama ini aku kenal baik.
"Kok kamu tau aku di sini?" Aku bertanya sambil tersenyum berusaha menyembunyikan rasa kagetku.
"Kata mamamu tadi kamu kesini,"
"Ah mama memang bukan orang yang bisa diandalkan," ucapku ketus.
"Ini udah hampir malam Sar,," aku antar pulang ya?
"Gak usah, aku pulang sendiri saja. Ucapku pada Nikko sahabatku.
Aku berlalu tanpa mempedulikannya, akupun tak berharap dia mengikutiku. Tapi rupanya dia mengikutiku dengan motor bututnya.
"Hey aku traktir makan ya!!" Ajakannya mulai menggodaku. Seperti mengetahui keadaan perutku yang tak aku isi dari pagi.
"Dimana?" Akupun mulai menyerah.
"Biasa sate padang.." ucapnya tanpa basa-basi.
"Oke, aku setuju." Langsung saja aku naik motor tuanya.
***
Semenjak Panca memutuskan untuk menikahi selingkuhannya, hanya Tommy yang selalu setia menemaniku. Tepat tiga minggu sebelum aku dan Panca menikah, aku mengetahui kalau Panca menghamili perempuan lain. Gadis cantik asal Bandung, gadis yang selalu menemaninya ketika Panca harus pergi di kota kembang itu.
Sejak saat itu tak pernah ada lagi senyumku, tak ada lagi kebahagiaan. Semua hampa. Berjalan seperti melayang, otakku berhenti berfikir dan selera makanpun tak pernah hadir lagi. Dunia serasa tak adil untukku.
***
Aku melihat Nikko lahap menghabiskan makanannya. Sedangkan aku hanya duduk termangu memperhatikannya. Inilah hiburan buatku, Nikko yang lucu sahabatku dari SD dulu tak pernah pergi meninggalkan aku. Cara makannya tak pernah berubah. Memasukan makanan langsung ke kerongkongan seperti tak pernah mengunyahnya.
Aku duduk di sebelahnya, di depan mata terlihat gerobak sate dengan tulisan "SATE PADANG ASLI PARIAMAN", sedangkan lampu neon menyala terang di antara kami. Setelah selesai makan Nikko baru sadar kalau aku tak menyentuh sedikitpun makanan itu.
"Aduuuuh,,, nanti di marahin si abang. Ayo makan dulu. Masa kamu di sini cuman numpang duduk doang," ucapnya sambil menyuapi aku. Dengan terpaksa akupun memasukan sedikit demi sedikit potongan daging yang diberi bumbu pedas itu.
"Habis ini kamu mau kemana?"
"Entahlah" jawabku.
"Ke toko buku.. Oke!" Ajaknya.
Tanpa bisa menolak, akupun menuruti saja. Setelah melihat Nikko membayar makanan, aku seperti terhipnotis langsung duduk pasrah ngangkang dibonceng naik motornya, kemanapun dia pergi tentu aku ikut.
***
Entahlah mengapa dengan usia yang setua ini hampir menginjak 27 tahun, dia masih saja suka komik. Matanya lincah melihat beberapa komik yang tertata rapi di rak. Dulu aku juga suka komik, ada gambarnya, tapi sekarang aku lebih suka membaca novel, novel dengan cerita cinta yang romantis. Sedangkan Nikko masih saja seperti anak-anak mencari komik yang penuh gambar, mungkin sejenis dengan komik Doraemon atau komik Detektif Conan.
"Tulalit-tulalit" terdengar suara hapenya berbunyi. Tangan kanannya merogoh saku celananya kemudian hape itu ditempelkan di telinga kirinya, rupanya Dessy pacar Nikko menelpon.
"Hallo say,,, ini di toko buku. Iya seperti biasa sama Sarah. Maaf saaay,, jangan marah. Kamu kan tau Sarah, masa cemburu ama dia siih?"
Nikko berusaha menjelaskan. Sepertinya pacar barunya itu cemburu.
Haha,,, aku puas sekali melihat pacarnya cemburu. Seperti biasa aku selalu berhasil membuat pacar Nikko cemburu. Siapapun dia selalu aku cegah untuk mendapatkan Nikko.
Entah mengapa aku selalu gelisah bila Nikko memiliki pacar. Mungkin aku takut kehilangannya. Dan aku tak pernah mau berbagi perhatiannya dengan perempuan lain siapapun dia. Nikko tidak pernah tau, aku sangat bahagia ketika dia bertengkar lalu putus dengan pacarnya. Itu berarti Nikko hanya akan memperhatikan aku. Dulu Panca juga pernah cemburu sama Nikko. Bila dipikir-pikir Panca selingkuh, mungkin karena aku selalu membagi perhatianku untuknya dan Nikko.
***
Dulu sekali aku pernah marah sama Nikko karena dia tak pernah meninggalkan komik Shinchannya. Sengaja aku curi dan aku simpan di dalam laci meja belajarku. Mamanya pernah bertanya padaku apakah aku menjahilinya dan menyembunyikan komiknya? Tentu saja aku tidak pernah mengaku. Bagiku konyol sekali harus bilang kalau aku tak mau melihat Nikko terus sibuk tanpa mempedulikan aku.
***
Toko buku yang ramai oleh pengunjung dan penuh dengan hiasan aksesoris tahun baru ternyata tak mampu memalingkan perhatiaku dari laki-laki putih berkacamata itu. Entahlah aku sangat menyukai semua gerak geriknya. Aaah andai saja dia tahu perasaanku.
Dia tak pernah tau, kalau aku sangat bahagia ketika dia setia mendengarkan curhatanku ketika Panca selingkuh.
Sebetulnya kalau mau jujur, aku uring-uringan bukan hanya karena disakiti Panca, tapi karena ditambah Nikko sudah memiliki pacar. Duuuh panas banget aku dibuatnya. Harusnya Nikko tuh ngejomblo terus biar aku enak ngebullynya, enak mentertawakan kepolosannya, atau aku bisa bebas berdua tanpa ada yang mengganggu.
Namun apa yang aku harapkan, ternyata kini Nikko memiliki Desi. Gadis manis dengan kaca mata yang selalu menempel di hidung mancungnya. Kalau bertemu denganku, aku ingin sekali mencubit pipinya itu. "Gemeeees".
"Hayooo melamun lagi,"
"Eh nggak kok,"
"Itu bengong kayak lumba-lumba nunggu dikasih ikan aja," ejeknya padaku.
"Mau beli novel apa?" Tanyanya.
"Entahlah... aku sedang tak ingin membaca," jawabku.
"Baiklah... gimana kalau sekarang kita pulang. Aku antar kamu pulang, lalu aku pergi ke rumah Desi,"
"Aku gak mau pulang, aku mau di sini. Dan kamu harus temani aku."
"Maksudmu?"
"Iya di sini, menghabiskan malam di mall ini. Kalau mau kita bisa nonton atau makan," jawabku memaksa.
"Aduuh sayang, aku ada janji sama Desi," jawabnya.
Terus terang aku cemburu pas dia bilang begitu. Dadaku sesak, darahku mengalir deras. Mukaku panas seperti terkena uap sauna. Aku gak suka ada perempuan lain dalam hidupnya, aku mau menjadi perempuan satu-satunya di hidupnya.
"Aku gak mauuuuu !"
Teriakanku membuat seluruh pengunjung dan penjaga toko menoleh kepadaku. Mereka menatapku dengan aneh, mungkin mereka menganggap kami sepasang kekasih yang sedang bertengkar.
Nikko segera membekap mulutku. Aku melihat matanya sedikit mendelik. Sepertinya dia marah, lalu dia menyeret lenganku, membawaku menjauh dari tempat itu.
"Maksud kamu apa sih Sarah? Aku bingung sama kamu,"
"Kelakuanmu selalu begitu. Setiap kamu ada masalah sama pacar kamu, aku yang selalu kena sasaran." Tampaknya Nikko serius.
"Aku juga punya kehidupan. Tak selamanya aku akan terus berada di sisimu. Aku juga laki-laki memerlukan kekasih." Ungkap Nikko panjang lebar.
Aku hanya menitikan air mata, tak kuasa mendapat perlakuan seperti itu. Baru sekarang Nikko tega membentak aku. Tak seperti biasanya dia begitu.
"Maafkan aku sarah..." ujar Nikko menyadari bila aku menitikan air mata .
"Iya gak apa-apa. Lagi pula aku yang salah."
"Aku gak pernah punya maksud untuk menyakitimu, sungguh!" Kulihat Nikko menatapku.
"Maafkan aku!" Jawabku sambil menatap matanya, ada getaran aneh pada tubuhku. Darahku seperti mengalir cepat ketika menatap wajahnya, bibirku mendadak kelu.
"Sarah maafkan aku,," Nikko berbisik, kemudian tangannya mengusap air mataku yang mengalir.
"Nikko... Aku harus jujur, aku cemburu sama Desi. Aku gak mau kehilangan kamu," tiba-tiba saja entah datang dari mana asalnya keberanian untuk mengucapkan kata-kata itu muncul.
"Maksud kamu?"
"Ya aku jatuh cinta sama kamu, tapi entahlah, aku takut untuk mengatakannya,"
"Serius??"
"Iya..."
"Sarah,," Nikko menghela nafas, sebelum melanjutkan ucapannya.
"Sebenarnya akupun mencintaimu, kamu pikir untuk apa aku selalu ada buatmu? Tapi aku takut kamu menolak. Aku kan konyol, berantakan. Sedangkan kamu manis, pinter, rapi. Apa iya suka sama aku?"
"Nikko... Aku tak pernah yakin kalau aku mencintaimu, tapi sepertinya sekarang aku yakin." jawabku.
Nikko meraih tanganku, kemudian memeluk tubuhku erat. Sungguh aku sangat bahagia, kami lupa bila kami berada di mall, mungkin saja perilaku kami menjadi tontonan bagi pengunjung.
Segera aku tepiskan pelukannya namun tangannya kugenggam erat, pipiku serasa hangat, entahlah itu perasaan malu atau bahagia, tapi aku yakin warnanya pasti memerah. Otakku seperti kembali berfungsi, sekarang kebuntuan ini mencair, setelah ini pasti aku akan banyak menulis tentang kebahagiaan dan cinta, walaupun kami belum resmi pacaran, tapi aku lega telah mengatakan isi hatiku pada Nikko.
***
Bogor, 6 Januari 2013
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI