Mohon tunggu...
Lilih Wilda
Lilih Wilda Mohon Tunggu... lainnya -

Ho ho ho

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebungkus Nasi Buat Mamak

24 Desember 2012   12:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:06 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13563529391953574768

ilustrasi : http://www.gambaraphotography.com

Udara dini hari memang selalu dingin menusuk tulang. Pori-pori kulitku seperti ternganga merasakan hawa seperti ini. Matahari belum sempat muncul di ufuk sana, tapi aku sudah keluar rumah untuk mengais-ngais makanan di tempat sampah, siapa tahu pagi ini aku beruntung mendapat sedikit nasi untuk memberi sarapan mamakku yang masih terbaring lemah di rumah.

Berbekal baju hangat yang lusuh dan sarung yang aku belitkan ke tubuh, aku merasa sedikit tertolong walau tidak merasa hangat tapi setidaknya tubuh ini tidak terlalu menggigil. Tanganku yang kecil lincah mengais-ngais sampah. Sepertinya aku tidak menemukan makanan yang bisa dimakan mamak, tapi tak apalah botol-botol plastik yang aku pungut ini sudah membuatku lega.

Seperti biasa, botol-botol yang aku kumpulkan segera aku masukan karung, lalu aku bergegas dan membawanya ke pengepul. Hari sudah mulai meninggi, aku sudah bisa melihat bayangan tubuhku sendiri, berarti matahari sudah mau menampakan wajahnya.

***

Uang lima ribu hasil penjualan botol dan gelas plastik yang aku kumpulkan pagi tadi sudah ada di tangan. Aku pun tersenyum sumringah niatku membeli sarapan untuk mamak sepertinya tercapai. Memang tidak bisa membeli nasi dan lauknya, tapi setidaknya masih bisa membeli dua potong roti untuk sarapan mamak dan untuk aku sendiri.

"Mamak bangun, ini sarapan untuk mamak sudah aku beli," kataku sambil meletakan roti di samping mamak ketika sampai di rumah. Sedangkan satu potong roti lagi sudah habis aku lahap dari tadi. Sebetulnya tempat mamaku berbaring itu tidak layak disebut rumah. Lebih tepatnya adalah gubuk. Ya gubuk ini adalah tempat kami melepas lelah setelah melakukan aktifitas. Gubuk dengan dinding kardus ini lebih sering ditinggali mamak, apalagi setelah mamak sakit. Gubuk ini tak pernah mamak tinggalkan, gubuk ini lah yang melindungi mamak dari guyuran hujan dan teriknya matahari bila siang menjelang.

Aku melihat mamak bangun perlahan dan membuka bungkusan roti. Melahapnya perlahan, lalu tersenyum. "Kamu sudah siap berangkat sekolah jang?" Mamakku bertanya. "Iya mak... Ini Ujang sudah pake seragam," jawabku mantap. "Hati-hati di jalan ya..."

"Iya mak, eh mak ini ada sisa uang 3000. Mamak tabung aja buat nanti berobat ya mak, aku akan bekerja lebih giat supaya mamak bisa berobat!"

Kataku mantap dan mamak hanya tersenyum mendengar kata-kataku.

Sebelum berangkat aku mencium tangan mamakku. Tangan yang kian hari kian lemah dan dingin. Mungkin penyakitnya sudah parah pikirku. Tubuh mamak semakin kurus, wajahnya juga semakin pucat. Sebenarnya aku sedikit khawatir harus meninggalkan mamak hari ini, tapi aku tidak mau ketinggalan pelajaran, dengan belajar aku akan menjadi anak pintar. Aku akan bekerja, setelah punya uang aku pasti bisa membuat mamak bahagia.

***

Di sudut ruang kelas, aku duduk dan menikmati semua pelajaran. Tidak ada kejadian yang aneh, sama seperti kemarin kelasku masih saja kelas dengan tembok yang hampir ambrol, guruku tetap saja kak Idrus, seorang mahasiswa yang merasa kasihan dengan nasib kami dan memberikan sedikit waktunya untuk mengajari baca tulis pada kami anak-anak pemulung di bawah jembatan ini.

Tapi aneh mengapa perasaanku tidak tenang. Pikiranku tak lepas dari mamak. Ya mamak yang terbaring,,, mamak yang selalu menyayangiku. Mamak lah yang selama ini menguatkan aku. Mamak pula yang membuat aku selalu bekerja keras dan mengumpulkan uang untuk berobat supaya mamak cepat sembuh.

Pukul sebelas siang aku keluar kelas, tanpa aba-aba, segera aku berhambur. Aku ingin segera menemui mamak. Tapi bukankah aku harus memberi mamak makan siang? Langkah mantapku berbelok menuju rumah Bu Hj Rodiah pemilik warung di pinggir jalan. Bu Haji selalu membutuhkan tenagaku untuk mengangkat belanjaan dari rumahnya ke warung yang berada kurang lebih 100 meter jaraknya.

Setelah sampai di rumah Bu Haji, tanpa diberi perintah aku segera menjinjing belanjaannya ke dalam warung. Bu Haji hanya tersenyum melihat tingkahku. Beginilah setiap hari pekerjaanku di warung ini.

"Eh ujang, hari ini Bu Haji punya sedikit rejeki untuk ujang," "Oh, apa rejeki apa Bu Haji?" Tanyaku. "Semalam ada tahlil, ini Bu Haji sisakan satu kotak untuk ujang bawa pulang,"

Sambil tersenyum Bu Haji memberikan bungkusan kresek. Mungkin isinya nasi, syukurlah akhirnya siang ini mamak bisa makan nasi. Mamak pasti senang, nasi ini pasti dilahapnya. Sudah dua hari kami tidak makan nasi, aku pun tersenyum bahagia mendapat bungkusan dari Bu Haji.

Setelah membantu bu Haji merapikan dagangan di warung, aku segera pamit. Bahagia rasanya hati ini karena akan memberikan sesuatu untuk mamak. Di luar dugaan ternyata Bu Haji pun memberikan aku selembar uang lima puluh ribu, menurutnya ini upah selama sebulan kerjaku. Ingin rasanya aku melompat karena kegirangan. Setelah pamit pulang, aku berlari kencang menuju rumah. Bahagia hatiku, hari ini bukan saja akan makan nasi, tapi mamak juga bisa berobat ke puskesmas. Uang ini pasti cukup untuk mengobati penyakit mamak.

Setelah sampai di depan rumah, aku kaget, mengapa banyak sekali orang di rumahku? Aku penasaran segera saja aku masuk ke rumah. Terlihat seseorang yang sedang dikerumuni tetanggaku. Seseorang yang telah terbujur kaku dengan ditutup kain. Di tempat itulah mamakku berbaring. Apa yang terjadi dengan mamakku Tuhan? Segera aku memeluk tubuh mamak yang sudah tidak bergerak. Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya. Tapi tak terlihat lagi senyumannya.

"Mamaaaaaaaaak... Jangan tinggalkan Ujaaaaaaaaang! Aku berteriak histeris. "Ini ada nasi buat kita makan. Ini ada uang buat berobat. Ayoooo mak banguuuuun!!"

Teriakan dan guncanganku tak membuat mamak bangun. Melihat mamak seperti itu aku semakin histeris. Aku merasakan takut yang luar biasa, takut untuk menghadapi dunia ini sendiri. Tanpa mamak apa yang akan terjadi padaku? Selama ini mamaklah yang membuat aku kuat. Tapi Tuhan berkata lain, mungkin Tuhan percaya bila aku akan kuat menghadapi ini sendiri tampa mamak di sampingku.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun