ilustrasi : http://tabloidjubi.com
Kendaraan yang lalu lalang di hari yang terik itu seperti tak dihiraukannya. Suara jalanan yang bising pun tak dapat mengalihkan perhatian anak itu. Berjalan sendiri di trotoar bercat merah. Dengan wajah tertunduk dalam, seperti menyimpan beban berat yang menggayuti kepalanya. Beberapa kali, matanya yang bening itu mengeluarkan butir air sampai membasahi pipinya.
Ia menghela nafas panjang, lalu menghentikan langkah cepatnya. Sepertinya Imron menemukan tempat yang rindang untuk sejenak beristirahat, karena tubuh ringkihnya mulai merasa lelah. Sebentar kemudian mengusap peluh yang bercucuran di wajah mungilnya sambil menyeka pipinya yang juga basah.
Di bawah pohon mahoni yang tinggi dengan cabang-cabang yang menjulang, Imron menerawang mengingat kejadian di kelas beberapa jam yang lalu. "Imron.. Ibu kan sudah bilang coba kamu berusaha membetulkan tulisanmu!" Setengah berteriak ibu guru memarahinya. Seluruh isi ruangan mendadak hening, teman-temannya menoleh ke arah Imron dengan tatapan sinis. "Ibu guru sangat pandai membuat aku malu di depan kawan-kawanku." Gumam imron dalam hati
Menurut ibu guru tulisan Imron selalu salah, huruf-hurufnya terbalik. Sebetulnya bukan mau Imron, tapi entah mengapa semua tulisan berlompatan ketika ia membacanya, mengapa semua huruf-huruf itu berterbangan di atas kepala Imron ketika ia akan menuliskan kedalam buku tulisnya.
Hari sudah semakin senja, matahari telah condong ke arah barat, warnanya pun mulai memucat dan meredup. Imron masih saja tidak mau beranjak dari tempat duduknya semula. Dalam tekadnya, dia tidak ingin kembali ke sekolah. Imron benci sekolah.
Imron juga tidak ingin pulang. karena ia tahu di rumahpun akan menerima hukuman dari ibunya. Imron harus menahan sakit karena pukulan ibunya. Bak-buk gagang sapu yang panjangnya satu meter itu mengenai tubuhnya. "Ma sakit maaa..." Imron merintih.
"Kamu membuat ibumu malu. Kamu bodoh, kamu bodooooooh!" bukannya mengurangi hantaman ibu Imron malah makin menjadi-jadi menghantamkan benda tumpul itu ke tubuh Imron.
Imron lupa, kapan ibunya menghentikan pukulannya yang bertubi-tubi itu. Yang ia ingat ketika ayam mulai berkokok di pagi hari, Imron merasakan sakit di sekujur tubuhnya dan ternyata badannya penuh dengan lebam berwarna biru. "Aduuuh!" gumam Imron. Imron hanya bisa bergegas ke kamar mandi, lalu menyiram tubuhnya dengan air dingin. Menggigil dan rasa perih tak lagi dirasa Imron, atau ia memang tak ingin membuat ibunya marah lagi.
Hari ini setelah usai sekolah, ibu guru seperti biasa, kehilangan kesabarannya dalam membimbing Imron di dalam kelas, dan tergopoh-gopoh menceritakan kebodohan Imron pada ibunya.
Imron tidak takut, malam ini ia tidak akan merasakan sakit akibat pukulan ibunya. Imron juga tak perlu khawatir karena besok tak perlu menghadapi tatapan sinis teman-temannya. Baginya lebih baik terbaring di pinggir jalan, dari pada harus pulang. Baginya lebih baik menahan lapar dari pada harus bersekolah besok hari, baginya mungkin lebih baik tak kembali agar ia tidak membuat ibu guru dan ibunya marah.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H