Maksud hati sang kakek khusyuk berdoa, eh wajah cucunya merah padam menahan geli lantaran doanya kocak nggak ketulungan.
Doa simbah-simbah alias kakek-nenek di kampung halaman telah menjelma sebagai salah satu kenangan terlucu sepanjang masa. Kekocakan itu muncul akibat senjang informasi antargenerasi yang jauh berbeda.
Begini kisahnya.
Usai  bersimpuh di hadapan Emak, kami serombongan  keluarga besar segera beranjak menuju para tetua dalam silsilah keluarga. Sebuah aktivitas yang lumrah terjadi di hari Idul Fitri.
Barisan tetua di kampung kami meliputi beberapa orang paman dan bibi dari pihak almarhum Bapak dan dari pihak Emak. Kami tak lagi bisa menemui generasi yang lebih awal lantaran kakek-nenek telah lama menghadap Yang Mahakuasa.
Kondisi Stagnan yang Selalu Dirindukan
Ritual yang kami lakukan nyaris seragam dari satu rumah ke rumah lain. Salam pertemuan, saling bertanya kabar, ngobrol pelbagai urusan, tuan rumah menawarkan hidangan dan tamu bilang "nggih" (artinya: ya) tapi tidak mengambil penganan, dan seterusnya.
Pengulangan itu terus-menerus terjadi dari satu rumah ke rumah lain, dan dari tahun ke tahun. Hampir tak ada perubahan.
Namun, kondisi "stagnan" semacam itu terus diburu saban Lebaran. Yah, memang kami mudik tidak berharap menonton konser musik atau pertunjukan teater yang sarat kreasi baru setiap waktu.
Kami hendak sungkem saja. Bagaimanapun bentuknya, sungkem di pangkuan para pinisepuh (orang-orang yang dituakan) menumbuhkan aura positif yang adakalanya tak disangka-sangka.
Menyambung silaturahmi dengan sanak famili adalah sebuah kewajiban yang mesti lestari. Kesederhanaan orang-orang tua di desa yang tak lekang dimakan usia juga ada maknanya sendiri. Kami berharap sikap bersahaja mereka mampu sedikit meredam silaunya kemeriahan dunia bagi anak-anak muda.
Setelah melalui berbagai pengulangan, akhirnya tiba juga pada prosesi unik yang menjadi puncak cerita ini.