Mengeluhkan Beban Kerja Berat Adalah Bumerang
Apakah upaya semacam itu akan memberikan hasil sesuai harapan si tukang sambat?
Pertama, perlu dicermati tanggapan orang-orang di sekitarnya. Misalnya, kolega terdekat di tempat kerja, yakni atasan dan rekan-rekan di sekitarnya.
Kita bisa membayangkan, bagaimana perasaan kita saat bertemu spesies manusia pengeluh semacam itu. Apakah kita merasa senang mendengar seseorang (pegawai yang begini biasanya rutin melakukannya) mengumbar deritanya sekaligus (berusaha) mengampanyekan sumbangsihnya bagi perusahaan?
Kecuali seseorang yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya pegawai yang sekubu, mestinya orang tidak merasa nyaman mendengar keluhan. Lebih-lebih lagi bila frekuensinya banyak, bisa bikin puyeng otak.
Jadi, alih-alih memperoleh simpati, pegawai yang hobi mengeluh dan mengumbar prestasi semu bakal dijauhi.
Namun, derita itu belum cukup baginya. Seorang pengumbar keluhan masih harus menanggung risiko besar lainnya.
Seuntai kalimat menggelitik dilontarkan oleh Richard Carlson, Ph.D, seorang konsultan stres. Dalam buku Don't Sweat the Small Stuff at Work (1999), Carlson mengemukakan bahaya yang timbul tatkala seorang pekerja acap melontarkan keluhan yang tidak pada tempatnya.
"Yang Anda keluhkan dapat menjadi ramalan yang mewujud dengan sendirinya, dan membuat Anda semakin terperangkap dalam kesibukan."
Siklus Derita yang Menyiksa
Nah, yang bakal terjadi adalah sebuah siklus derita. Seseorang yang tak puas dengan dirinya terdorong untuk rajin mengeluh dan membual tentang prestasi kerjanya. Akibatnya, orang-orang mulai menjaga jarak dengannya.
Selanjutnya, "ramalan" tentang beban kerja berat itu menjelma sebagai beban yang benar-benar berat sehingga membuat si pegawai semakin merasa tertimpa kesibukan yang luar biasa. Lantas, semakin kencang pula ia mengabarkan deritanya, dan terus berpusing-pusing bikin kepala pening tujuh keliling.