Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hard Selling yang Bikin Emosi Terpancing

21 Juni 2020   19:01 Diperbarui: 17 Juni 2021   01:20 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com/QuinceCreative

Apakah Anda pernah menerima hard selling yang tidak menyenangkan dari seseorang? Bagaimana rasanya? Saya punya pengalaman menghadapi hard selling yang bikin emosi naik hingga nyaris ke ubun-ubun.

Beberapa waktu yang lalu, saya menerima sebuah surel dari penyedia jasa web hosting. Dalam email yang dikirimkannya, admin web hosting mengabarkan bahwa kuota penyimpanan data pada paket hosting yang saya beli saya telah terlampaui.

Cukup terperanjat saya menerima kabar buruk ini. Saya merasa tidak pernah mengunggah file-file berukuran besar semacam video. Selain itu, jumlah posting yang saya unggah juga belum banyak karena usia situsnya juga masih terbilang bayi.

Maka, saya segera mengontak admin melalui sarana live chat pada situs web hosting yang dikelolanya. Sesuai hasil tinjauan yang pernah saya baca, kecepatan customer service dalam menanggapi keluhan saya patut diacungi jempol. Dengan awal interaksi yang sangat baik ini, saya berharap banyak pada si petugas layanan untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa saya.

Nafsu Besar Seorang Penjual

Sungguh tak terduga kisah yang saya alami berikutnya. Di luar respons cepat yang memikat, ternyata ada hal lain yang menyengat.

"Upgrade aja ke paket yang lebih tinggi, Mas. Saya merekomendasikan dua paket yang pas buat Mas."

Si penjual langsung nyerocos dalam chat-nya, hanya sesaat setelah saya menyampaikan berita bahwa kuota hosting saya terlewati. Seakan-akan ia tahu betul bahwa solusi atas permasalahan saya adalah satu di antara dua paket web hosting yang ditawarkannya.

Melihat aksi marketingnya yang tanpa basa-basi, saya mencoba menjelaskan kondisi website saya secara lebih detail. Saya ungkapkan kepadanya bahwa saya merasa belum banyak menggunakan data, tetapi kuotanya tiba-tiba habis.

Terus, apa jawaban si penjual yang bernafsu besar? "Mas, kalau mau upgrade caranya gampang, kok."

Entah apa yang dilakukannya ketika saya menuliskan rincian persoalan yang saya hadapi dalam chatting-an saya sebelumnya. Berdasarkan jawaban-jawaban yang disampaikannya, saya yakin ia tidak membaca tulisan saya.

Langsung saja jiwa menjual yang kelewat berkobar dalam dirinya mengarahkan (baca: memaksa) saya ke lajur jual beli. Ia pun mengetik langkah-langkah melakukan upgrade paket hosting pada baris chat. Pada tahap ini, emosi saya mulai meninggi.

"Mas, soal upgrade bisa aja. Tapi apa itu akan menyelesaikan masalah saya?" Saya masih mencoba bersabar dengan melontarkan pertanyaan secara baik-baik.

Kembali ia mengangsurkan rayuannya dalam baris chat selanjutnya, "Cara upgrade-nya cepat kok, seperti yang sudah saya sampaikan di atas."

Seandainya saya belum berlangganan hosting ini, sudah pasti langsung saya tutup situsnya yang sedang terbuka dan segera mencari penyedia web hosting lainnya. Namun hal itu tidak mungkin saya lakukan mengingat persoalan yang tengah saya hadapi harus diselesaikan bersama dengan pemilik hosting ini.

Selepas perdebatan yang cukup panjang, akhirnya si penjual menjelaskan cara mengurangi volume data yang memenuhi dashboard. Berdasarkan informasi dari admin yang merangkap penjual itu, serta panduan yang saya dapatkan dari internet, saya berhasil menghapus beberapa materi yang belum saya butuhkan saat itu. Maka ruang penyimpanan data website saya kembali longgar.

Kejadian menjengkelkan itu telah meninggalkan sebuah pelajaran berharga. Nafsu besar untuk segera menjual telah menghapus bayangan tentang layanan yang menyenangkan yang digembar-gemborkan sebagai keunggulan perusahaan ini. Sikap tak sabar telah membikin pikiran optimis menjadi ambyar.

Layanan bagus tak menyangkut soal kecepatan semata, tapi banyak hal lain yang terkandung di dalamnya. Kecepatan layanan tak lagi menyenangkan jika urusan lain membuat kecewa pelanggan.

Hard Selling atau Soft Selling?

Dalam dunia marketing dikenal sebuah istilah "hard selling". Merriam-Webster Dictionary mendefinisikan istilah "hard sell" dalam konteks finansial sebagai "an aggressive sales tactic used to persuade customers to make an immediate purchase."

Jadi, hard sell bisa dimaknai sebagai sebuah strategi penjualan yang dilakukan secara langsung dengan harapan (calon) konsumen membeli produk atau jasa yang ditawarkan seketika itu juga. Pokoknya nggak usah banyak cingcong, langsung jualan aja, deh.

Strategi marketing ini sering digunakan untuk menjual produk secara massal dalam jangka pendek. Penjualan yang dilakukan dengan strategi ini umumnya tidak meninggalkan kesan yang mendalam bagi pelanggan. Setelah membeli produk, pelanggan segera melupakannya.

Kebalikan dari sistem ini biasa disebut sebagai soft selling, yakni strategi penjualan yang dilakukan secara perlahan dan dalam jangka yang cukup panjang. Diawali dengan tahap mengenali calon pelanggan, kemudian mencari tahu apa kebutuhan atau persoalan mereka.

Fase berikutnya, mencoba memberikan solusi atas persoalan yang sedang dihadapi calon pelanggan. Setelah berhasil mengikat hati calon pelanggan, barulah sang penjual memaparkan produk yang hendak dijualnya.

Dalam tahap ini, ia memiliki kesempatan untuk menjelaskan tentang kelebihan produk yang dimilikinya. Selain itu, ia bisa menawarkan diri untuk membantu calon pelanggan mengatasi permasalahannya atau memenuhi kebutuhannya. Sudah barang tentu ia akan mengaitkan "bantuan" ini dengan produk atau jasa yang ditawarkannya.

Kembali pada kasus yang saya alami. Dalam peristiwa ini terlihat si penjual ingin langsung membukukan penjualannya saat itu juga. Ia tak berusaha mengenali pelanggannya, bahkan saat pelanggan menyampaikan persoalan yang dihadapinya.

Akibatnya, ia tidak memahami persoalan yang tengah melilit sang pelanggan. Boro-boro mau ngasih solusi, lha wong persoalannya saja ia nggak ngerti.

Pada akhirnya, dengan terpaksa, si penjual tetap melakukan salah satu bagian teknik soft selling dengan memberikan edukasi mengenai cara mengurangi materi-materi yang memenuhi ruang penyimpanan data pada situs saya. Namun masalahnya, saya telah telanjur kecewa dengan agresivitas yang ditunjukkannya untuk menjual jasanya seketika itu juga.

Ceritanya mungkin akan berbeda seandainya dari awal ia berusaha mengenali dan mencarikan solusi atas persoalan yang saya alami. Memang ia tak akan mendapatkan hasil penjualan pada saat itu karena saya telah mendapatkan solusi lain.

Namun, ia telah bertindak sebagai orang yang memberikan manfaat bagi saya. Maka nama sang penjual akan tercatat dalam hati saya. Ketika sewaktu-waktu saya membutuhkan jasa hosting, saya akan mengingat namanya.

Tentu saja tak selamanya metode hard selling akan menemui kegagalan. Segala sesuatu akan memberikan hasil optimal ketika diterapkan pada situasi dan kondisi yang tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun