"Apapun latar belakangnya, doanya ya itu-itu juga."
Seringkali sebuah keadaan yang tengah kita hadapi justru mengingatkan kita akan keadaan sebaliknya yang pernah kita alami. Larangan mudik Lebaran serta tagar #janganmudikdulu juga telah mendorong ingatan saya akan hiruk-pikuk suasana mudik dan silaturahmi Lebaran beberapa tahun sebelumnya, bahkan hingga puluhan tahun silam.
Suasana Lebaran khas dusun di kampung halaman sekonyong-konyong tergambar kembali dengan jelas di depan mata. Seakan-akan saya sedang menonton sebuah film dokumenter, adegan-adegan yang berseliweran menghadirkan beragam kenangan.
Sesekali timbul rasa geli ketika membayangkan kejadian-kejadian yang lucu. Adakalanya juga terharu mengingat sebagian di antara orang-orang yang dulu memeluk dan menciumi kita, kini telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Kemudian rasa rindu muncul begitu saja manakala mengingat bahwa tahun ini keseruan dan keharuan semacam itu mungkin tak akan tersua.
Profesi Andalan Orang Tua
Bahasa penduduk desa, terutama yang sepanjang usia mereka habiskan di dusun yang jauh dari kota, nyaris serupa. Wawasan dan informasi yang sangat terbatas merupakan faktor penyebabnya. Kondisi semacam itu menjadi salah satu penghias acara-acara kunjungan silaturahmi Idul Fitri.
Salah satu kebiasaan yang selalu berulang setiap kali saya menjalani ritual Lebaran di kampung halaman adalah doa para orang tua bagi kaum muda. Dulu kami selalu mendapatkannya. Kini anak-anak kami yang memperoleh gilirannya.
"Muga-muga tansah diparingi bagas, waras lan slamet." (Semoga selalu diberi kekuatan, kesehatan dan keselamatan).
Kalimat itu seperti sudah menjadi semacam doa pembuka yang wajib diucapkan setiap orang tua saat kaum muda mendatangi kediaman mereka dalam kegiatan kunjungan hari Lebaran. Rangkaian doa berikutnya pun nyaris serupa template baku yang diucapkan oleh hampir semua orang tua.
"Sakabehing luputku lan luputmu pada dilebur ing dina Bakda iki, ya." (Semua kesalahanku dan kesalahanmu kita lebur pada hari raya ini, ya).
"Tak dongakke, mbesuk yen wis gede, kowe bisa dadi tentara, apa pulisi, apa dokter yo, Le." (Saya doakan agar setelah besar nanti, kamu bisa menjadi tentara, polisi atau dokter ya, Nak).
Kebanyakan orang tua zaman itu memang 'tak makan sekolahan' dan tentunya tidak pernah mengikuti kursus parenting atau yang semacamnya.Â
Jadi kita harus memaklumi jika para orang tua tak menanyakan atau meneliti minat dan kemampuan anak-anak serta cucu-cucu mereka sebelum memanjatkan doa. Apapun latar belakangnya, doanya ya itu-itu juga.
Tentara dan Polisi tampak sangat gagah di mata orang-orang desa. Maka kedua profesi itu menjadi primadona dan selalu mencuat dalam doa para orang tua.Â
Mereka membayangkan betapa bangga hati mereka jika pada suatu saat bisa menyaksikan anak-anak atau cucu-cucu mereka berbaris dengan gagah sembari memanggul senjata.
Dokter juga menjadi profesi favorit lainnya bagi banyak orang tua. Doa yang sering dipanjatkan para orang tua bukan tanpa alasan. Umumnya orang desa masih setia menggunakan cara pengobatan alami dan tradisional ketika ada anggota keluarga atau kerabat yang menderita sakit.Â
Namun mereka merasakan juga dahsyatnya sentuhan tangan dokter (atau mantri kesehatan) ketika yang tradisional-tradisional tak mempan lagi mengusir penyakit.
Kelucuan dan Keharuan Suasana Lebaran
Seperti itulah umumnya tingkat wawasan orang-orang tua di desa-desa. Tak jarang, keterbatasan itu mendatangkan sedikit kelucuan.
"Muga-muga ndang lulus sekolahmu ya, ben isa dadi dokter. Mengko nek aku lara, kowe sing nambani." (Semoga segera lulus sekolahmu ya, biar bisa jadi dokter. Nanti kalau saya sakit, kamu yang mengobati.).
Begitulah doa Uwo ketika saya mendapat giliran sungkem kepadanya. Uwo adalah sebutan bagi kakak dari bapak atau ibu.
"Nggih, Wo." (Ya, Wo.).
Ya, seperti itu saja jawaban basa-basi saya. Dan bersama dengan saudara-saudara, kami menahan tawa. Gimana mau jadi dokter, wong saat itu saya lagi kuliah ekonomi.
Ketika itu saya bersama saudara-saudara mengunjungi satu per satu orang-orang yang kami anggap sebagai orang tua. Mereka adalah saudara-saudara Bapak dan Emak yang kebetulan tetap tinggal tak jauh dari kampung halaman.
Doa-doa serupa juga mereka panjatkan bagi cucu-cucu mereka tanpa melihat latar belakang dan pendidikan yang tengah dijalani. Ya, ketika kami telah berkeluarga dan mengajak serta seluruh anggota keluarga, rombongan besar kami kembali mengunjungi mereka. Dan para orang tua kembali mengucapkan doa yang sama.
Mereka memang tidak mengenal ragam profesi yang berkembang terutama sejak era digital menuntun generasi terkini menetapkan keinginan hati. Jangan pernah berharap para orang tua mendoakan kita menjadi penulis, blogger, Youtuber, influencer, dan er-er yang lain.
"Panganan apa ta kuwi?" (Makanan apa sih itu?).Â
Barangkali mereka malah akan menyodorkan pertanyaan seperti itu bila kita menyebut profesi-profesi 'aneh' itu. Lha, kan hanya bikin kita pusing memikirkan jawabannya.
Namun demikian, kami meyakini ketulusan hati orang-orang desa. Dalam kesederhanaan, mereka berdoa dengan segenap kesungguhan. Tentu saja kami menyikapi ketulusan mereka dengan rasa hormat yang mendalam.
Kini sebagian dari mereka telah tiada. Di balik keluguan, kasih sayang mereka kepada generasi sesudahnya telah meninggalkan kesan yang tak kan terlupa.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka dan memberikan sebaik-baiknya balasan atas ketulusan, kasih sayang dan warisan nilai-nilai kebaikan yang mereka tinggalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H