Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sampai di Mana Pertumbuhan "Kecambah" yang Disebut-sebut oleh Bung Hatta 62 Tahun Silam?

20 Mei 2020   23:52 Diperbarui: 20 Mei 2020   23:54 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: kompas.com/shutterstock

Hari Kebangkitan Nasional, yang kita peringati hari ini, selalu terkait erat dengan istilah "nasionalisme". Jika merujuk kepada KBBI, kata ini memiliki dua makna, yakni:

1. paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; 

2. kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu;

Saya menyimpulkan bahwa kedua pengertian "nasionalisme" di atas berkaitan dengan frasa "mencintai bangsa" dan "kesadaran keanggotaan suatu bangsa untuk mencapai tujuan secara bersama-sama".

Banyak referensi yang menyebut Boedi Utomo sebagai sebuah organisasi pengusung paham nasionalisme jauh sebelum kemerdekaan negara kita. Organisasi yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 itu, pada awal terbentuknya tidak secara tegas menyebut nasionalisme sebagai tujuannya. Mereka lebih mengarahkan tujuan organisasi untuk memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, ilmu pengetahuan dan seni budaya.

Perubahan orientasi organisasi mulai terjadi sejak Boedi Utomo menempatkan dua orang anggotanya, Mas Ngabehi Dwidjosewojo dan Raden Sastrowidjono, sebagai perwakilan dalam Volksraad alias Dewan Rakyat bentukan pemerintah Hindia Belanda. Tujuan pengiriman perwakilan tersebut tiada lain untuk menjalin kerja sama kooperatif guna mencapai kemerdekaan Indonesia.

Sejak saat itu telah menjadi semakin jelas, apa yang sebenarnya diinginkan Boedi Utomo. Maka tak heran jika Boedi Utomo kemudian dikenal sebagai salah satu organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan. Usaha memerdekakan bangsa tentu saja merupakan bentuk nyata sikap mencintai bangsa. Dan mereka akan menggalang upaya mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan secara bersama-sama.

Ada sebuah ungkapan yang sangat menarik pernah disampaikan oleh salah seorang pendiri negeri ini, Bung Hatta. Menurut Mohammad Hatta dalam tulisannya di majalah Star Weekly  pada 17 Mei 1958, Boedi Oetomo kala itu sudah mengandung "kecambah semangat nasional".

Membayangkan waktu yang telah berjalan sekian lama, seharusnya si kecambah sudah tumbuh membesar serta memberikan banyak buah yang bisa kita panen hari ini. Alangkah indah membayangkan suasana Hari Kebangkitan Nasional 2020 ini diliputi kegembiraan, atau setidaknya optimisme, karena kita bisa merasakan manisnya hasil "kecambah nasionalisme" yang disemai para bapak bangsa masa itu.

Namun, sepertinya si "kecambah" belum benar-benar tumbuh baik. Padahal tanah kita dikenal amat gembur. Kalau kayu dan batu saja bisa menjadi tanaman, bagaimana pula dengan tanaman sendiri? Pun para warga negaranya masyhur ke seantero dunia sebagai penjunjung semangat gotong royong. Jadi, seharusnya tidak ada alasan sama sekali buat si kecambah untuk tidak tumbuh subur dan memberikan hasil yang melimpah.

Apakah benar seperti gambaran itu yang kini terjadi? Saya tidak bermaksud menyepelekan aspek-aspek positif yang berkembang, seperti misalnya kepedulian berbagai pihak terhadap sesama yang terdampak Covid 19 yang berkembang di masyarakat akhir-akhir ini. Namun sepertinya lebih santer kita dengar kabar- kabar yang bertolak belakang dengan semangat nasionalisme.

Mari kita tengok lagi tagar "Indonesia Terserah" yang sangat mengkhawatirkan hati. Tiada lain penyebabnya adalah sikap suka-suka sebagian warga. Di tengah ajakan untuk bersama-sama memerangi Corona, masih tersisa banyak penduduk yang tak peka. Memaksakan diri berkumpul dan mengabaikan protokol kesehatan untuk alasan-alasan yang sebenarnya orang bisa menghindarinya.

Dan bukankah hingga hari ini, kita masih sering mendapati ujaran-ujaran kebencian antara satu golongan dengan golongan lainnya? Sampai kapan kita bisa menyebarkan kalimat-kalimat baik tanpa ada penyusup yang mengobarkan kebencian? Lalu, berita-berita bohong yang sengaja digaungkan, kapan pula akan berkurang frekuensinya?

Padahal sejak disemai oleh Bapak Proklamator kita, sang "kecambah" kini telah 62 tahun usianya. Sudah kakek-kakek dan nenek-nenek sebetulnya. Apalagi jika umur si orok diukur sejak kelahiran organisasi yang menjadi pencetusnya.

Semoga saja sikap "terserah" yang berkembang akhir-akhir ini tidak terus melaju tanpa ada yang sanggup menahannya. Seharusnya sebagian besar warga negeri ini tengah berada pada situasi batin yang paling damai. Bulan Ramadan seyogyanya bisa lebih menundukkan hati yang telah tunduk sebelumnya. Dan setidaknya juga mampu menjinakkan jiwa yang barangkali cukup liar sebelum menjalankan puasa.

Apapun yang terjadi, kita tak selaknya patah hati. Merebaknya sikap egois sebagian warga memang telah memperbesar peluang datangnya bencana. Bagaimana pula jika yang masih ikhlas bertahan terus mematuhi anjuran kini malah jadi ikut-ikutan? Tentu akan lebih besar lagi bahaya yang mengancam.

Lebaran tanpa baju baru bukan aib yang bikin malu. Apalagi semua orang tahu, sekarang kita sedang dalam kondisi yang tak menentu. Sesekali tak mudik pun bukan perkara tabu. Dan urusan silaturahmi juga masih bisa diupayakan tanpa raga harus saling bertemu.

Sungguh sedih membayangkan perkembangan kontroversi yang semakin meningkat intensitasnya belakangan ini. Padahal, Lebaran sebentar lagi.

Referensi: 1 dan 2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun