Barangkali teman-teman milenial agak bingung karena mungkin belum pernah bergaul dengan sesosok makhluk yang diberi nama wartel, kependekan dari warung telekomunikasi. Bagi kebanyakan mahasiswa perantauan, pada zaman itu wartel menjadi satu-satunya tempat singgah ketika hendak bincang-bincang sejenak dengan orang tua di kampung halaman.
Angka yang tertera di wesel itu merupakan honor menulis terbesar yang pernah saya terima semasa kuliah. Angka-angka rupiah sebagai penghargaan menulis sangat beragam jumlahnya, tergantung banyak hal seperti jenis tulisan dan media yang menayangkannya. Seingat saya, honor terkecil yang pernah saya terima senilai tujuh ribu lima ratus rupiah.
Nilai itu terbilang lumayan. Ia bisa mengenyangkan perut saya selama dua minggu. Harga sepiring nasi pecel dengan dua potong kecil tempe goreng berkisar antara Rp 250 hingga Rp 300.
Jika lauknya berganti telur atau ayam goreng, harus merogoh saku dan menyorongkan tambahan kocek seratusan perak lagi kepada si empunya warung.
Jika tidak saya gunakan untuk "berfoya-foya", saya bisa menyimpan uang itu. Bila kelak saya menerima lagi honor sejumlah itu, saya bisa mengangsur biaya kos. Harga sewa kamar saya sebulan Rp 15.000. Masa itu, Yogyakarta masih merupakan salah satu kota dengan biaya hidup yang rendah.
Semangat Menulis yang Naik TurunÂ
Kembali ke urusan menulis. Entah apa sebutan yang paling tepat bagi kegiatan menulis saya pada zaman dahulu kala. Seperti sudah saya sampaikan, jika disebut hobi realitasnya saya mengerjakannya bukan dengan sepenuhnya gembira. Jika disebut pekerjaan, nyatanya tidak saya lakukan secara rutin.
Kalau disebut pekerjaan sampingan, rasanya kurang tepat juga. Buktinya, saya tak memiliki pekerjaan utama, selain kuliah yang tak menghasilkan duit. Atau mungkin kita sebut saja kegiatan sampingan yang menghasilkan. Agak panjang memang jadinya.
Karena saya tidak mengkategorikannya sebagai hobi, tak heran bila kegiatan menulis tak bertahan lama. Selulus kuliah dan kemudian menjadi seorang pegawai pada sebuah perusahaan yang cukup besar, saya segera melupakannya.
Sebenarnya saya tidak melupakan dunia tulis-menulis secara total. Adakalanya saya masih corat-coret entah di kertas atau di komputer. Namun frekuensi dan tingkat keseriusannya sangat jauh berkurang dibandingkan semasa mahasiswa.
Penyebabnya, saya tak punya cukup gairah untuk bertekun-tekun menekuri komputer. Tak ada lagi ambisi mendapatkan kiriman wesel. Gaji yang rutin saya terima saban bulan telah membikin saya rada "tinggi hati". Meskipun dulu saya puja-puja, honor menulis ternyata tak seberapa.
Maka, dalam beberapa tahun saya menikmati masa euforia atas sebuah status pegawai dengan gaji tetap. Dalam masa awal saya menjadi pekerja itu kegiatan menulis mungkin telah berubah menjadi seonggok fosil yang terkubur di kedalaman bumi. Saya nyaris tak mengingatnya lagi.