Saya memaknai kalimat ini sebagai sebuah perumpamaan seorang penulis yang menulis sesuatu yang bukan berasal dari suara hatinya. Mungkin seperti yang dikatakan oleh beberapa orang lain dengan kalimat yang berbeda, misalnya "menulislah sesuatu yang kamu sukai atau kamu kuasai", atau "menulislah sesuai passion-mu" atau ungkapan-ungkapan lain yang bermakna serupa. Dan saya merasakan kalimat yang diungkapkan oleh DZI bermakna lebih dalam.
Menulis karena getaran batin tampak misalnya dalam proses penulisan puisi "Ibu". Dikisahkan bahwa puisi itu tercipta oleh getaran hati DZI akibat deraan rasa rindu kepada sang ibu kala dirinya merantau ke Banyuwangi.Â
Dan puisi itu baru kelar ditulisnya justru setelah dia kembali ke kampung halaman dan berkumpul lagi dengan sang penyebab timbulnya getaran hati.
DZI melukiskan tidak mudahnya proses penciptaan puisi itu dalam sebuah kalimat yang mengharukan. "Berbulan-bulan puisi "Ibu" tidak rampung, karena saya kehabisan kata untuk melukiskan kasih sayangnya," ungkapnya.
Kedua, menyangkut kalimat yang kedua, "Saya yakin, puisi yang saya tulis tanpa kejujuran nurani tidak akan mampu mengarungi samudra waktu dan tidak akan punya nilai abadi."
Saya kira, kalimat ini merupakan lanjutan potongan kalimat yang saya sebutkan pertama. Kalimat ini menunjukkan dampak yang akan muncul atas tindakan menulis sesuatu yang tidak menimbulkan getaran hati.
Saya yakin bukan hanya tulisan berbentuk puisi yang akan bernasib seperti ucapan sang penyair yang kondang dengan sebutan "Si Celurit Emas" itu. Artikel genre dan tema apa pun, jika dihasilkan tanpa kejujuran nurani, tak akan lama singgah di hati orang, bahkan termasuk penulisnya sendiri. Jika pun tulisan semacam ini sempat populer misalnya, biasanya tak akan bertahan lama.
Ungkapan "getaran hati" dan "kejujuran nurani" bukan sesuatu yang mudah dipraktikkan, termasuk dalam urusan tulis-menulis. Banyak hal yang bisa mengikis keyakinan seseorang akan pentingnya menjaga kejujuran nurani untuk menulis hanya berdasarkan getaran hati.
Jebakan PopularitasÂ
Keinginan untuk lekas populer menjadi salah satu penggerak hati seorang (calon) penulis untuk mencari hal-hal atau peristiwa-peristiwa sensasional untuk dituliskannya. Tidak keliru bila hal semacam itu dituliskan secara proporsional. Namun akan menjadi hal yang tidak wajar bila ditujukan hanya untuk mengejar status tenar dalam sekejap.
Godaan untuk segera dikenal dan mendapatkan banyak acungan jempol memang sulit dicegah. Menilik cara saya menghasilkan tulisan, bisa diyakini bahwa saya termasuk golongan yang terakhir ini.