Mengawali liburan akhir tahun ini, anak perempuan saya mengatakan bahwa ia ingin mencari ketenangan. Sepertinya ia butuh kondisi yang jauh dari hiruk-pikuk dan keributan. Kemudian, pada Minggu malam itu, ia menjatuhkan pilihannya pada perpustakaan.
Dan ia mengangguk pelan saat saya menawarkan diri untuk menemaninya. Keesokan harinya, hari Senin sekitar jam delapan pagi, kami bersiap-siap berangkat ke lokasi.
Dengan menggendong ransel hitam berisi laptop andalannya, ia membonceng di jok sepeda motor saya. Saya pun melajukan kendaraan menuju kawasan Sriwijaya di kota Atlas, tempat Perpustakaan Daerah Jawa Tengah berada.
Saya merasa pilihan yang diambilnya sangat tepat. Suasana ruang perpustakaan cukup hening. Meskipun ketika hari beranjak siang dan pengunjung semakin banyak berdatangan, tetapi semua orang terlihat menjaga adab dengan sangat baik. Jika harus berbicara, mereka menyetel volume suara secukupnya. Selebihnya, semua orang fokus menghadap buku atau laptop di depan mereka masing-masing.
Sembari menemani si gadis yang sibuk dengan laptopnya, saya mencoba berkeliling melihat-lihat koleksi buku. Entah mengapa saya terdorong untuk melangkahkan kaki menuju rak penyimpanan buku-buku bertema pendidikan.
Beberapa jilid buku saya tarik dari tempat persemayaman mereka. Salah satu buku yang cukup menarik minat baca saya berjudul "Character Matters" yang ditulis oleh Thomas Lickona. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga saya tak perlu membuka-buka kamus untuk memahami isinya.
Penampakan buku bersampul kuning itu agak lusuh. Mungkin karena banyak orang yang telah menyentuh dan membuka-buka lembaran-lembarannya.
Setelah menelusuri daftar isi, saya mendapatkan sebuah bab yang memikat hati saya untuk mendalami isinya. Saya melewatkan halaman-halaman awal dan langsung menuju bahasan yang sepertinya akan meninggalkan kesan yang cukup mendalam.
Kisah Inspiratif Helena Zapletalova
Dalam sebuah bab, penulis buku itu menceritakan sepenggal kisah seorang tetangganya yang berasal dari Cekoslowakia bernama Helena Zapletalova. Berikut ini penggalan kisah masa kecil Helena yang diungkapkan oleh Lickona dalam bukunya yang cukup tebal itu.
Kakek Helena pernah belajar mengukir secara otodidak. Suatu ketika Helena minta dibuatkan sesuatu dengan keahlian kakeknya mengukir. Maka, setelah menghabiskan beberapa waktu, sang kakek menyerahkan sebuah boneka kepada Helena. Bukannya bergembira, Helena yang saat itu berusia tujuh tahun justru merasa sangat kecewa mendapatkan boneka yang tak bagus menurut pandangannya. Helena kecil pun segera merajuk, "Bonekanya jelek, saya tidak mau boneka itu!"