Pagi masih buta ketika tubuh penat itu menggeliat. Tangan berbalut kulit keriput meraba-raba pinggiran tempat tidur tanpa kasur. Lalu tertatih-tatih sepasang kaki ringkih susuri lantai semen yang tak selalu bersih. Dingin air pancuran membasuh delapan bagian tubuh yang lusuh.Â
Setelah bersarung segera saja badanmu tersungkur limbung. Meski samar tak kudengar pinta dari bibir yang bergetar. Tak pula terucap desah keluh dan kesah. Kecuali hanya terlintas seulas wajah yang ikhlas.Â
Hari-hari tuamu tak hendak mengganggu ketenteraman anak dan cucu. Malah sebaliknya, kami yang muda gemar menaruh beban di bahu tua. Kami ingin menyudahi semua kerepotan ini. Sudah tiba saatnya engkau berkhusyuk diri.Â
Kami telah merasakan beban yang dahulu engkau pikul di pundakmu. Dan engkau masih menyorongkan bahu ketika kami seharusnya berganti menopang hidupmu. Dalam usia panjangmu engkau terus merasa dirimu seorang ayah. Selepas anak-anak, menyusul cucu-cucu bergelayut di pundak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H