Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nia Ramadhani yang Hidup di Tengah Masyarakat Gumunan

24 Oktober 2019   16:51 Diperbarui: 25 Oktober 2019   09:03 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artis peran Nia Ramadhani saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (22/9/2019).(KOMPAS.com/DIAN REINIS KUMAMPUNG)

Satu lagi viral aneh tapi nyata terjadi di negeri kita. Ada seorang wanita yang tidak bisa mengupas kulit buah salak menjadi berita besar. Kejadian yang di-video-kan itu kemudian menimbulkan "kegemparan" terutama di jagat sosial media.

Kita tak perlu heran karena wanita itu bernama Nia Ramadhani. Seandainya bukan dia pelakunya, mungkin tak akan begini jadinya. Dan sang wanita adalah seorang warga sebuah negara dengan sebagian masyarakat gumunan. Dua hal yang klop untuk menimbulkan "huru-hara dunia maya".

Beragam berita dan ulasan terkait kejadian ini pun segera membanjiri media. Ada yang menyebarkan video perihal ketidakmampuan seorang wanita dewasa membuka kulit buah salak. 

Bermunculan pula artikel-artikel mengenai teknis membuka kulit buah salak dan buah-buahan lainnya. Dan masih banyak lagi konten-konten terkait si wanita.

Sudah tentu segera bertebaran tulisan-tulisan atau konten-konten dalam bentuk lain yang "menguliti" kehidupan Nia yang tak berhubungan dengan urusan mengupas kulit buah salak. Dan masyarakat gumunan segera berlomba meraup beragam konten itu.

Adakah kita termasuk bagian dalam kelompok orang yang penasaran dengan rasa ingin tahu yang demikian tinggi? Jika iya, lantas apa motivasi kita? Apakah kita punya kepentingan tertentu terkait dengan urusan mengupas buah salak? Atau bukan buah salak yang menjadi fokus kita, melainkan wanita yang tak bisa mengupas kulitnya?

Potret Masyarakat Gumunan
Rasanya kita bisa mengingat banyak hal lain yang menunjukkan kondisi serupa. Salah satu contohnya terjadi dalam dunia musik dangdut. Pada masanya dulu, ada seorang pedangdut yang mencuatkan sebuah gaya goyang yang berbeda dengan model goyang dangdut sebelumnya. 

Gaya berputar-putar layaknya sebuah bor listrik menembus kedalaman bumi. Model goyang ini kemudian sangat digandrungi masyarakat.

Nia Ramadhani kebingungan tak tahu cara mengupas salak | Kolase TribunStyle (instagram @niaramadhani_update/@ramadhaniabakrie)
Nia Ramadhani kebingungan tak tahu cara mengupas salak | Kolase TribunStyle (instagram @niaramadhani_update/@ramadhaniabakrie)
Keberhasilan sebuah model goyang dangdut "menghipnotis" masyarakat kemudian disusul dengan maraknya berbagai jenis goyang lainnya. Para pedangdut lain seperti segera berlomba menciptakan kreasi goyangan yang berbeda mengandalkan berbagai anggota tubuh mereka. 

Maka, tahap berikutnya adalah menjamurnya model-model goyang dangdut dengan keeksotisan masing-masing.

Yang tak jauh beda juga kini tengah menggejala. Saat ini budaya prank semakin merajalela. Termasuk prank-prank yang tak masuk akal hingga yang membahayakan kesehatan dan bahkan jiwa manusia. Semakin aneh semakin banyak disuka. Entah apa manfaatnya.

Merebaknya konten-konten dan pembahasan perihal yang demikian tak lepas dari kondisi masyarakat gumunan, yakni masyarakat yang berisi orang-orang yang mudah terheran-heran akan suatu hal atau peristiwa.

Konten-konten aneh bin ajaib sangat gampang tumbuh di tengah masyarakat yang demikian. Maka banyak orang memanfaatkan tingkat keheranan masyarakat yang tinggi sebagai lahan subur tempat menyemai materi-materi yang ditujukan untuk viral semata.

Falsafah "Ojo Gumunan"
Ada sebuah falsafah masyarakat Jawa yang sangat relevan dengan kondisi kehidupan zaman kini, yakni "Ojo Gumunan". Ojo gumunan bermakna jangan mudah terheran-heran atau terperangah dengan berbagai hal atau peristiwa yang terjadi di sekitar kita. 

Kita perlu meneliti dulu, adakah kepentingan atau manfaat atas suatu hal atau kejadian sehingga kita harus menyisihkan waktu berharga kita untuk menelusuri atau bahkan mendalaminya?

Memang salah satu ciri orang kreatif adalah adanya rasa ingin tahu yang tinggi. Bagi si kreatif, keinginan untuk mengetahui segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya bisa menjelma menjadi sebuah rasa penasaran yang mendalam.

Namun perlu juga dipilah-pilah, obyek yang membikin penasaran itu sesuatu yang penting atau tidak. Apakah obyek itu berpotensi untuk mendatangkan manfaat atau hikmah bagi kehidupan kita atau hanya sensasi yang kalau kita ikuti banyak membuang-buang waktu saja.

Berlakunya Hukum Pasar 
Hukum pasar kuno masih tetap berlaku. Tingginya permintaan akan mendatangkan banyak penawaran. Ketika banyak orang mencari berita-berita aneh, maka akan bermunculan warta-warta ajaib mengitari kita. Demikian pula, saat orang merindukan kenyinyiran, secepat kereta ekspres para nyinyir datang.

Apakah kita akan selalu menjadi pelanggan loyal terhadap produk-produk tak berguna hanya karena memperturutkan hawa nafsu kita? Yang selanjutnya akan semakin membesarkan "bisnis asal disambut pasar" yang tak meninggalkan bekas manfaat kecuali sensasi sesaat? Tentu semua tergantung sepenuhnya kepada pilihan kita.

Tapi omong-omong, saya juga kecipratan sebuah gagasan dari kasus buah salak Nia. Atas "jasa" Nia, hari ini saya berhasil menayangkan sebuah tulisan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun