Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Pengunjuk Rasa Gemar Melempar Telur Busuk?

25 September 2019   14:16 Diperbarui: 26 September 2019   10:39 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu, saya mengendus bau busuk yang cukup menyengat. Semula saya mengira ada tikus mati terjepit lemari. Namun kemudian saya baru menyadari bahwa bau tak sedap itu berasal dari sebutir telur yang telah membusuk beberapa hari.

Apakah karena bau busuk yang cukup menyengat itu yang menjadikan telur sebagai salah satu pilihan favorit para pemrotes untuk melampiaskan kegeraman mereka terhadap ulah seseorang atau sebuah institusi? Bisa jadi. Beberapa peristiwa politik negeri ini dalam kurun beberapa minggu terakhir banyak diwarnai demonstrasi.

Musim demonstrasi seperti saat ini membuat telur menjadi salah satu komoditas yang banyak dicari. Ketika sekumpulan massa aksi PMII menyerbu gedung KPK beberapa waktu yang lalu, telur menjadi senjata andalan mereka untuk menghujani gedung yang ditempati institusi yang sedang banyak mendapatkan simpati itu.

Dan ingatan kita pasti masih menyimpan dengan baik sosok Egg Boy dalam tragedi pembantaian di sebuah masjid di Christchurch, Selandia Baru. Si "Bocah Telur" ini menjadi viral karena keberaniannya "menceplok" telur di kepala Fraser Anning, seorang politikus Australia yang menyalahkan orang-orang muslim korban penembakan membabi buta di Christchurch.

Bukan Monopoli Urusan Politik

Begitu banyaknya telur berkontribusi dalam berbagai aksi protes yang terjadi di berbagai belahan bumi. Jika ditelusuri lebih lanjut, daftar "partisipasi" telur dalam unjuk rasa akan menjadi sangat panjang.

Namun demikian, ketika saya coba mengulik daftar keikutsertaan telur dalam berbagai aksi protes, sebagian besar berkaitan dengan demo urusan politik. Entah kenapa telur busuk identik dengan politik dan khususnya politisi.

Saya tidak banyak menemukan berita mengenai kerusuhan sepak bola misalnya yang disertai dengan aksi melempar telur busuk. Jika ada, jumlahnya tak akan sebanyak "peredaran" telur busuk dalam urusan politik.

Sebut misalnya tim sepak bola Brazil yang dihujani telur busuk setiba mereka di kampung halaman usai mengikuti hajatan Piala Dunia tahun 2018 yang berlangsung di Rusia. Hujan telur busuk yang menimpa Tim Samba terjadi akibat prestasi buruk yang hanya mencapai perempat final telah membuat murka para penggila fanatik mereka.

Bisa jadi pelemparan telur busuk dalam kasus-kasus seperti ini bukan ditujukan untuk mencederai. Namun justru pelampiasan rasa sayang para pelempar kepada pihak yang dilempar. Asal yang dilempar tahu diri untuk meningkatkan prestasi di kemudian hari.

Barangkali ini juga merupakan salah satu alasan orang menggunakan telur busuk sebagai alat demonstrasi. Toh ia tidak membahayakan pihak yang menjadi korban. Hanya aroma tak sedap yang akan mereka rasakan dalam waktu yang tak lama. Walaupun mungkin rasa malunya tak akan cepat berlalu.

Namun perlu waspada juga. Beberapa kali pernah tersiar kabar bahwa pelemparan telur busuk ke kepala bisa berujung petaka.

Sesuai berita yang pernah beredar, ada seorang remaja yang tengah berulang tahun dikerjain oleh teman-temannya. Dalam posisi terikat kedua tangannya, ia dilempari telur busuk yang sebagian mengarah ke wajahnya.

Akibatnya fatal, si remaja menjadi buta karena bakteri yang mendekam dalam telur busuk berpindah tempat ke matanya. Dan warta serupa bukan hanya terjadi sekali itu saja.

Sejarah Telur Busuk dalam Demonstrasi

Partisipasi telur busuk dalam "menyemarakkan" unjuk rasa setidaknya telah dimulai sejak tahun 1917. Saat itu tercatat Perdana Menteri Australia Billy Hughes yang menjadi korbannya. Sang Perdana Menteri tengah melakukan kunjungan di kota Warwick, Queensland saat itu.

Program wajib militer yang dicanangkannya banyak ditentang warga. Puncaknya saat ia berpidato tentang perlunya warga mengikuti program ini telah membuat naik pitam warga yang kontra terhadap kebijakannya.

Maka melayanglah telur yang dilontarkan oleh dua bersaudara Pat dan Bart Brosnan mengarah ke kepalanya.

Ada pula yang mencatat bahwa tradisi melempar politisi dengan bahan-bahan busuk telah dimulai sejak tahun 63 M. Dalam masa pemerintahannya kala itu, pemimpin Romawi bernama Vespasian pernah dilempar sayuran jenis lobak. Kabarnya, aksi pelemparan itu sebagai protes oleh warga yang kekurangan pangan.

Alternatif "Senjata" Lainnya

Selain dengan melempar telur busuk, aksi-aksi protes massa juga mengenal cukup banyak cara dan sarana. Beberapa "aksi panggung" yang akrab dengan para demonstran antara lain membakar ban bekas, mengusung keranda dan ... melepas busana.

Pembakaran ban menjadi salah satu aksi terpopuler. Ban yang dibakar tentu saja ban bekas karena sangat kita sayangkan jika ada yang membakar ban baru karena harganya mahal. Pemilihan ban mungkin karena daya tahan bahan karet yang cukup baik sehingga api menyala dalam waktu lama.

Pembakaran ban umumnya dilakukan di tengah jalan atau tempat terbuka lainnya karena jika aksi semacam ini dilakukan dalam gedung tentu sangat berbahaya.

Penggunaan keranda dalam aksi demonstrasi dimaksudkan untuk menunjukkan sikap keprihatinan atas perlakuan penguasa atau lembaga negara tertentu terhadap seseorang atau suatu institusi.

Dalam salah satu kasus terkini, beberapa demonstrasi dilakukan dengan mengusung keranda bertuliskan "KPK". Tentu saja aksi ini ditujukan sebagai keprihatinan atas nasib KPK yang menurut para demonstran telah dilemahkan oleh beberapa lembaga negara. Perlakuan para elit telah membuat seakan-akan KPK telah menemui ajalnya.

Satu lagi aksi yang unik, demonstrasi yang dilakukan dengan melepas busana. Demo semacam ini cukup banyak dilakukan di manca negara, khususnya di negara-negara barat sana. Namun pernah pula beberapa kali terjadi di negeri ini.

Peristiwa terakhir terjadi di Tobasa yang berada di wilayah Sumatera Utara, ketika sejumlah ibu-ibu membuka baju memprotes eksekusi lahan untuk pembangunan jalan yang merupakan bagian dari Proyek Badan Otorita Pariwisata Danau Toba.

Demonstrasi dengan model yang satu ini tentu saja tidak populer di Indonesia. Faktor budaya agaknya membatasi kemungkinan banyak orang berani melakukannya.

Lantas, mengapa demonstrasi dengan melepas busana selalu dilakukan oleh wanita? Kalau dilakukan kaum pria sepertinya tak akan berhasil mendapatkan banyak perhatian warga dunia.

Itulah beberapa cara dan sarana penunjang aksi demonstrasi yang biasa digunakan para pengunjuk rasa. Ke depan barangkali akan muncul "senjata-senjata" baru karena kreativitas selalu berkembang, termasuk dalam urusan unjuk rasa.

Referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun