Dalam beberapa kali Idul Fitri yang telah kami lalui, kami melakukan perjalanan mudik pada hari-H, alias tepat pada hari pertama bulan Syawal. Biasanya kami memulai perjalanan sekitar pukul lima pagi selepas Subuh.
Ada cukup banyak keuntungan yang bisa kami dapatkan dengan melakukan perjalanan mudik pada hari-H. Satu di antaranya adalah terpenuhinya salah satu sunnah Rasul yang terkait dengan Idul Fitri secara otomatis.
Perjalanan mudik kami terhitung sangat singkat. Dari ibukota provinsi Jawa Tengah menuju sebuah Kabupaten yang menaungi salah satu wujud keajaiban dunia, Candi Borobudur, dengan jarak sekitar 85 kilometer biasanya kami tempuh dalam waktu sekitar dua jam. Kadang-kadang bisa kurang. Ini adalah keuntungan pertama yang kami dapatkan dari perjalanan mudik pada hari-H di awal pagi.
Selama ini perjalanan mudik identik dengan kemacetan, yang menyebabkan waktu tempuh menjadi lebih lama dibandingkan perjalanan dengan jarak dan rute yang sama yang dilakukan pada hari-hari biasa.
Yang kami dapatkan justru sebaliknya. Perjalanan mudik terasa lebih singkat. Penyebabnya tak lain karena jalanan lengang, sebab kebanyakan orang telah melakukan perjalanan beberapa hari sebelumnya.
Dalam kondisi seperti ini, seringkali jalan raya antar kota antar provinsi yang biasanya hiruk pikuk terasa lebih lapang dan lancar dibandingkan jalan tol.
Orang Lain yang Membayar, Kami yang Berjalan Lancar
Melakukan perjalanan pada hari-H Idul Fitri di pagi hari, kami tidak perlu berebut jalur jalan dengan deretan truk yang berjalan amat lamban bak kura-kura kelaparan. Jika pada hari biasa mereka merajalela di jalanan, truk-truk pada saat itu sedang dikandangkan.
Pun kami tak perlu membayar biaya tol karena kami sudah nyaman di jalan raya. Perjalanan melalui jalan raya non tol kadang-kadang lebih lancar dibandingkan melewati jalan tol. Pada saat itu, sebagian sisa-sisa pemudik mungkin memilih melewati jalan tol. Barangkali mereka beranggapan bahwa perjalanan melalui jalur tol lebih lancar dibandingkan jalan non tol. Pada kenyataannya, yang terjadi bisa saja sebaliknya.
Saya bisa memperkirakan kondisi seperti ini saat menyaksikan antrean mobil keluar dari pintu tol Bawen yang lebih padat dibandingkan kendaraan yang melaju di jalan raya. Maka, saya suka berpikir, orang lain yang mengeluarkan biaya untuk membayar tol, kami yang menikmati perjalanan (nyaris) bebas hambatan.
Lumayan, ongkos tol bisa beralih menjadi beberapa botol minuman kopi dingin dan sekerat cokelat.
AC Alam Jauh Lebih Menyegarkan
Perjalanan melewati dataran tinggi Kopeng di Kabupaten Magelang memberikan keuntungan kedua bagi kami. Jalanan yang tak ramai tentu saja tak banyak menyumbang polusi udara dan juga polusi suara. Hawa pagi di sekitar lokasi wisata Kopeng yang sangat sejuk juga merupakan penghilang penat alami.
Udara segar melebarkan paru-paru kami. Tanaman hijau diselingi beberapa macam warna bunga di kanan kiri jalan yang kami lalui menyehatkan mata kami. Dan Air Conditioner yang disumbang oleh alam berupa angin semribit yang masuk dari jendela mobil sedikit mengurangi konsumsi bensin mobil yang kami tumpangi.
Kendaraan keluarga kami yang terkenal irit itu menjadi semakin hemat bahan bakar. Bukankah hal itu turut membantu menyukseskan program negara mengurangi penggunaan energi yang tak terbarukan? He he, maaf rada maksa, nih.
Yang jelas, saya bisa mengibaratkannya dengan sebuah peribahasa "Sambil menyelam minum air." Sembari perjalanan mudik, kami menikmati pemandangan alam nan asri dan sejuk.
Menjalankan Sunnah Rasul secara Otomatis
Perjalanan mudik kami membawa dampak positif yang lain. Efek bagus itu menyangkut salah satu sunnah Rasul berkaitan dengan salat Idul Fitri. Sunnah yang saya maksud adalah mengambil rute yang berbeda antara keberangkatan menuju tempat salat dan kepulangan dari tempat salat.
Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berada di hari ied, beliau membedakan jalan antara pergi dan pulang. (HR. Bukhari, No. 986)
Bagaimana tidak. Kami berangkat dari kota Semarang. Kemudian melaksanakan salat Id di tengah perjalanan, misalnya yang pernah kami lakukan di masjid dekat Alun-Alun kota Magelang. Selepas salat, kami pulang ke rumah orang tua ke arah selatan.
Tentu saja kami harus mengambil jalan yang berbeda. Jika kami mengambil jalan yang sama, kami akan kembali lagi ke tempat tempat semula di Semarang. Kami nggak jadi mudik, dong.
Sementara itu, ada beberapa sunnah lain yang sebaiknya dilakukan sebelum salat Idul Fitri. Sunnah-sunnah itu antara lain mandi, mengenakan pakaian terbaik dan wangi-wangian serta makan. Kami bisa menjalankan sunnah-sunnah tersebut di rumah atau dalam perjalanan.
Begitulah perjalanan mudik yang kami lakukan dalam beberapa kesempatan Lebaran belakangan ini. Insya Allah, kami akan melakukannya lagi esok hari. Semoga perjalanan besok pagi berlangsung lancar hingga kami bertemu orang tua dan sanak saudara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H