Anto menghela napas dalam-dalam. Raut mukanya menunjukkan adanya tekanan berat yang tengah menggelayuti hatinya. Ia baru saja usai membaca sebuah warta tentang perundungan seorang anak oleh teman-teman sekelasnya di sebuah SMP.
Dengan tangan yang lunglai, ditaruhnya gawai yang baru saja digunakan untuk membaca berita dari sebuah media daring, di meja kecil di samping tempat duduknya. Detil peristiwa perundungan yang disaksikannya dalam video yang merupakan attachment berita perundungan itu masih membayangi benaknya. Memang mereka tidak sampai melakukan penganiayaan secara fisik, tetapi kalimat-kalimat verbal yang amat merendahkan mengucur deras dari mulut belasan anak-anak bau kencur itu.
Pria yang menjabat sebagai manajer keuangan pada sebuah perusahaan perdagangan barang-barang perlengkapan kantor itu memang membiasakan diri membaca beberapa berita di pagi hari menjelang memulai aktivitas kerja di kantornya. Biasanya ia lebih suka membaca berita-berita ekonomi karena sesuai dengan minat dan bidang pendidikannya. Selain ekonomi, ia sedikit membaca berita politik, karena berita politik suka menggelitik dengan kejadian-kejadian ganjil dan komentar-komentar para politisi yang bikin nalar terbolak-balik. Entah kenapa pagi ini ia tergoda untuk meng-klik sebuah tautan berita perundungan.
Anto teringat akan anak-anaknya. Ia tak mampu membayangkan bila perundungan itu menimpa salah satu di antara dua anak-anaknya yang kini berusia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Bayangan wajah mengiba bocah korban perundungan itu melintas lagi di benaknya.
***
Masa kecil Anto dihabiskannya di sebuah dusun tak jauh dari lereng Merapi. Salah satu kesukaannya di masa kecil adalah bermain meriam bambu, yang dalam bahasa dusun setempat biasa disebut long bumbung alias petasan bambu. Meriam bambu terbuat dari sebilah bambu utuh, artinya tidak dibelah, kira-kira sepanjang satu setengah hingga dua meter. Satu ruas pada pangkalnya dibiarkan tertutup, sedangkan ruas-ruas lainnya dilubangi.
Pada salah satu sisi yang dekat dengan pangkalnya, sedikit di atas ruas yang tidak dilubangi, dibuat sebuah lubang picu kecil sebagai tempat menyalakan si meriam bambu. Dasar bambu diisi genangan minyak tanah hingga jarak antara permukaan minyak dengan lubang picu sekira 5 cm. Bila lubang picu disulut dengan api, maka "Bum!", meriam kampung itu pun menyalak.
Dalam kondisi siaga, posisi petasan bumbung serupa meriam yang biasa dipakai serdadu Belanda dalam memerangi pejuang negeri kita di masa pergolakan. Pangkalnya menempel di tanah, sementara ujungnya mendongak ke udara. Untuk menaikkan ujungnya, biasanya anak-anak menempatkannya di bagian tanah yang menonjol ke atas, atau di pematang bila permainan dilakukan di sekitar sawah atau ladang. Sudut kemiringannya berkisar 20 hingga 30 derajat.
Anto kecil bersama teman-teman sebayanya biasa bermain perang-perangan menggunakan meriam bambu bak pejuang kemerdekaan melawan serdadu penjajah. Â Meriam bambu berperan sebagai senjata yang seakan-akan menembakkan peluru ke lokasi persembunyian musuh, meskipun sebenarnya yang keluar dari piranti permainan tradisional yang nyaris punah itu hanyalah suara berdentum dengan sedikit asap yang mengepul.
Permainan meriam bambu ramai dimainkan anak-anak kampung di bulan Ramadan. Semakin mendekati Idul Fitri, semakin ramai. Anak-anak memainkan perang meriam bambu di malam hari. Biasanya selepas Tarawih. Sering juga dilanjutkan seusai makan sahur sembari menunggu azan Subuh. Lingkungan yang gelap membuat warna semburan api di ujung meriam yang merah tampak menyala terang. Selain itu, suasana yang senyap membikin suaranya makin terasa menggelegar.
Adegan selanjutnya, selepas suara dentuman terdengar, mereka saling melontar kebanggaan diri dan kelompoknya atau menyemburkan olokan bagi kelompok lawannya. Bunyi debum yang keras membahana dari meriam bambu menjadi satu hal yang amat membanggakan. Sebaliknya, kegagalan memunculkan suara yang dahsyat, istilah mereka waktu itu mejen, merupakan bahan utama ujaran-ujaran negatif untuk menjatuhkan mental lawan.
Salah satu hal yang unik dari permainan ini, semua anak mengklaim dirinya bersama dengan teman-teman dalam tim mereka sebagai pejuang kemerdekaan dan anak-anak dalam tim rivalnya sebagai serdadu kumpeni. Tak ada satu kelompok pun yang sudi berperan sebagai kaum penjajah. Sebuah bentuk kebanggaan kepada para pejuang kemerdekaan dan wujud kecintaan akan tanah air yang lekat di hati para bocah cilik yang hidup di sebuah dusun.
Setelah lewat masa lebih dari dua puluh tahun, Anto yang telah melalui jenjang-jenjang pendidikan yang baik hingga meraih sebuah gelar sarjana dari sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya, menjadi pegawai kantoran. Ia bersama istri dan ketiga anaknya berpindah-pindah kota mengikuti keputusan manajemen di kantornya. Beberapa kota di negeri ini telah disinggahinya. Di setiap kota yang dilabuhinya, ia tak pernah lagi mengingat permainan meriam bambu yang semasa kecilnya acap kali dimainkannya.
Ia pun tak ingat lagi satu per satu teman-teman sepermainan di dusunnya. Kalau dipaksa harus mengingatnya, mungkin ia akan hanya terkenang sedikit saja di antara mereka. Satu orang yang paling lekat di memorinya adalah Bardi. Biasanya Bardi berada di pihak lawan dari kelompok Anto dalam permainan perang-perangan meriam bambu. Dan anak malang itu selalu menjadi obyek utama ejekan Anto bersama teman-temannya.
Ketika di tengah pertempuran terjadi meriam mejen, maka akan ada seseorang yang dengan sigap meniupkan angin dari mulutnya melalui lubang picu untuk mengeluarkan asap yang mengumpul di dalam batang bambu atau bumbung. Asap dalam bumbung merupakan penghambat jalannya uap minyak tanah yang merupakan bahan bakar penghasil ledakan. Posisi badan si peniup menungging alias njengking saat mulutnya menghembuskan angin ke lubang meriam.
Adegan seperti itu sangat ditunggu-tunggu. Tanpa berusaha meneliti, atau bahkan mungkin sengaja tidak mau tahu siapa yang menungging, anak-anak pun segera bersahut-sahutan meneriakkan kalimat senada, "Bardi njengking! Bardi njengking!!!" Mereka memekik sekuat yang mereka bisa hingga urat-urat di leher mereka membesar bagai akar-akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Kalimat lain dengan imbuhan kata-kata kotor pun selalu menyertai ucapan kasar mereka.
Itulah puncak kegembiraan anak-anak kala itu. Tentu tidak demikian halnya dengan Bardi. Entah perasaan seperti apa yang dirasakan anak lugu itu. Tak pernah ada yang menanyakan hal itu kepadanya. Bahkan disinyalir mereka sengaja tidak mau menanyakan dan tidak peduli dengan apa yang dirasakan teman mereka.
Rundungan dalam permainan meriam bambu bahkan menjalar ke segmen kehidupan lainnya. Anto masih ingat betul bagaimana kuatnya dorongan sebagian besar anak-anak dusunnya untuk menyudutkan Bardi dalam setiap kesempatan.
***
Saat ini Anto tidak tahu di mana keberadaan Bardi dan seperti apa kondisinya. Sejak ia kuliah di Surabaya, tak pernah lagi mereka bertemu. Terakhir kali ia menyambangi dusunnya sudah lebih dari dua puluh tahun silam. Setelah itu ia tak pernah lagi berkunjung ke dusun itu karena sudah tidak ada siapa-siapa di sana.
Lawatan terakhirnya ke sana dalam rangka pemakaman ibunya. Sang ibu meninggalkannya saat ia masih di awal kuliah. Sementara ayahnya telah meninggal lebih dari empat tahun sebelumnya. Kedua saudara kandungnya juga tidak lagi berdiam di dusun itu semenjak mereka berkeluarga.
Sepeninggal ibunya, Anto meninggalkan dusun tempat kelahirannya dan mengikuti kakak sulungnya yang bermukim di Surabaya. Kakak perempuannya itu menikah dengan seorang laki-laki pengusaha laundry dan kos-kosan di dekat kampus Unair. Kakak iparnya itu yang kemudian mengambil alih seluruh tanggung jawab pembiayaan kuliah Anto.
Sebetulnya masih ada satu orang paman sepupunya, namun hubungan dirinya dengan sang paman beserta keluarganya tidak sekarib hubungan kekerabatan pada umumnya. Perangai Anto yang tertutup membuat mereka nyaris tidak pernah berkomunikasi bahkan ketika masih tinggal sedusun.
Rumah di dusun yang ditinggali Bardi bersama ibu dan bapaknya saat terakhir ia datang ke sana, sudah ditempati orang lain. Si penghuni rumah tidak tahu ke mana orang tua Bardi bersama Bardi dan anak-anaknya yang lain pergi. Tidak banyak lagi orang yang dikenalinya di dusun itu.
Sejak itu, ia tak lagi bisa menemui teman-teman bermainnya di masa kecil, termasuk Bardi. Perasaan Bardi yang selalu menjadi korban perundungan di masa kecilnya itu pun hingga kini tetap menjadi misteri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H