Salah satu hal yang unik dari permainan ini, semua anak mengklaim dirinya bersama dengan teman-teman dalam tim mereka sebagai pejuang kemerdekaan dan anak-anak dalam tim rivalnya sebagai serdadu kumpeni. Tak ada satu kelompok pun yang sudi berperan sebagai kaum penjajah. Sebuah bentuk kebanggaan kepada para pejuang kemerdekaan dan wujud kecintaan akan tanah air yang lekat di hati para bocah cilik yang hidup di sebuah dusun.
Setelah lewat masa lebih dari dua puluh tahun, Anto yang telah melalui jenjang-jenjang pendidikan yang baik hingga meraih sebuah gelar sarjana dari sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya, menjadi pegawai kantoran. Ia bersama istri dan ketiga anaknya berpindah-pindah kota mengikuti keputusan manajemen di kantornya. Beberapa kota di negeri ini telah disinggahinya. Di setiap kota yang dilabuhinya, ia tak pernah lagi mengingat permainan meriam bambu yang semasa kecilnya acap kali dimainkannya.
Ia pun tak ingat lagi satu per satu teman-teman sepermainan di dusunnya. Kalau dipaksa harus mengingatnya, mungkin ia akan hanya terkenang sedikit saja di antara mereka. Satu orang yang paling lekat di memorinya adalah Bardi. Biasanya Bardi berada di pihak lawan dari kelompok Anto dalam permainan perang-perangan meriam bambu. Dan anak malang itu selalu menjadi obyek utama ejekan Anto bersama teman-temannya.
Ketika di tengah pertempuran terjadi meriam mejen, maka akan ada seseorang yang dengan sigap meniupkan angin dari mulutnya melalui lubang picu untuk mengeluarkan asap yang mengumpul di dalam batang bambu atau bumbung. Asap dalam bumbung merupakan penghambat jalannya uap minyak tanah yang merupakan bahan bakar penghasil ledakan. Posisi badan si peniup menungging alias njengking saat mulutnya menghembuskan angin ke lubang meriam.
Adegan seperti itu sangat ditunggu-tunggu. Tanpa berusaha meneliti, atau bahkan mungkin sengaja tidak mau tahu siapa yang menungging, anak-anak pun segera bersahut-sahutan meneriakkan kalimat senada, "Bardi njengking! Bardi njengking!!!" Mereka memekik sekuat yang mereka bisa hingga urat-urat di leher mereka membesar bagai akar-akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Kalimat lain dengan imbuhan kata-kata kotor pun selalu menyertai ucapan kasar mereka.
Itulah puncak kegembiraan anak-anak kala itu. Tentu tidak demikian halnya dengan Bardi. Entah perasaan seperti apa yang dirasakan anak lugu itu. Tak pernah ada yang menanyakan hal itu kepadanya. Bahkan disinyalir mereka sengaja tidak mau menanyakan dan tidak peduli dengan apa yang dirasakan teman mereka.
Rundungan dalam permainan meriam bambu bahkan menjalar ke segmen kehidupan lainnya. Anto masih ingat betul bagaimana kuatnya dorongan sebagian besar anak-anak dusunnya untuk menyudutkan Bardi dalam setiap kesempatan.
***
Saat ini Anto tidak tahu di mana keberadaan Bardi dan seperti apa kondisinya. Sejak ia kuliah di Surabaya, tak pernah lagi mereka bertemu. Terakhir kali ia menyambangi dusunnya sudah lebih dari dua puluh tahun silam. Setelah itu ia tak pernah lagi berkunjung ke dusun itu karena sudah tidak ada siapa-siapa di sana.
Lawatan terakhirnya ke sana dalam rangka pemakaman ibunya. Sang ibu meninggalkannya saat ia masih di awal kuliah. Sementara ayahnya telah meninggal lebih dari empat tahun sebelumnya. Kedua saudara kandungnya juga tidak lagi berdiam di dusun itu semenjak mereka berkeluarga.
Sepeninggal ibunya, Anto meninggalkan dusun tempat kelahirannya dan mengikuti kakak sulungnya yang bermukim di Surabaya. Kakak perempuannya itu menikah dengan seorang laki-laki pengusaha laundry dan kos-kosan di dekat kampus Unair. Kakak iparnya itu yang kemudian mengambil alih seluruh tanggung jawab pembiayaan kuliah Anto.