Bagi pribadi seagung Ali, jabatan adalah sebuah kesia-siaan bila keberadaannya hanya mendatangkan perselisihan. Ia pernah mengatakan bahwa dirinya lebih memilih mejadi seorang wazir daripada harus memegang kekuasaan negara sebagai seorang amir.
Dalam kisah lain, disebutkan pula banyak pihak lainnya yang juga mendesak agar Ali bersedia menjadi khalifah. Di antara mereka adalah Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah.
Atas dorongan mereka ini pun awalnya Ali tetap ngotot menolak. Salah satunya karena Rasulullah pernah mengajarkan untuk tidak meminta-minta jabatan.
Dalam suatu kesempatan Rasulullah bersabda, "Kami tidak menyerahkan kepeminpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya. (HR Bukhari dan Muslim)
Selepas kepemimpinan Utsman bin Affan, akhirnya Ali harus naik tahta. Ali yang selalu ngotot menolak jabatan, dengan sangat terpaksa menerimanya. Ia tidak kuasa lagi mengelak oleh besarnya harapan dan kepercayaan orang-orang kepada dirinya.
Sepanjang pemerintahannya, Ali banyak mendapat cobaan. Cobaan-cobaan yang diterima oleh kejujuran dan sikap tegasnya. Meskipun mendapat banyak tentangan, ia teguh dengan cara memerintah  yang diyakini kebenarannya.
Sedikit pun Ali tak cemas bakal kehilangan kekuasaan karena tidak mau mengikuti orang-orang yang memaksakan kemauan mereka. Ali menolak mengikuti cara-cara yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Toh, ia memang sebenarnya tidak menghendaki jabatan itu.
Ia menerima jabatan semata-mata mengemban amanah. Dan ia menggenggam kepercayaan banyak orang dengan tetap berpegang pada kebenaran.
Barangkali begitulah kekuasaan harus dijalankan. Karena kekuasaan didapat bukan karena diminta, maka penguasa pun bisa menjalankan kekuasaan sesuai dengan nuraninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H