Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Memikul Beban Hidup

1 Maret 2019   05:56 Diperbarui: 1 Maret 2019   06:45 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di antara debu dan asap kendaraan penyebar polusi yang lewat, lamat-lamat melintas sosok setengah tua yang terlihat penat. Sejurus penglihatanku berusaha membilang dengan cermat. Sudah berapa jauh jalan yang dia tempuh. Dan seberapa deras telah mengucur peluh.

Adakah jejas di bahunya menerbitkan rasa perih. Oleh beratnya beban pikulan yang terus menindih. Aku mencoba menduga-duga, berapa banyak barang yang memberati urat pundaknya telah berkurang. Dan berapa ribu hasil penjualannya akan mengiringinya pulang.

Apakah selaras dengan biaya kebutuhan hidup yang harus ia penuhi? Apakah sudah patut untuk mendudukkannya sebagai seorang kepala keluarga yang cukup berarti? Tak banyak terlontar keluh bahkan sekadar gumam lirih dari bibirnya. Ia tampak pasrah saja menerima seberapa yang menjadi bagiannya.

***

Sangat jarang kudapati warga perumahan melongok dari sirat-sirat pagar atau jendela, lalu menggubit  seraya memanggil-manggil. Mencangkung di depan pagar, memindai, menyeleksi, meyakini dan memutuskan untuk mengambil. Kiranya jamak orang menuruti kata hati pergi ke toko perkakas rumah. Dengan sececah langkah mereka akan mendapatkan suasana nyaman dan layanan ramah.

Sekiranya tertampak penghuni kompleks datang mengeteng barang dagangan si Mamang. Tentu akan memicu hatinya mendadak girang. Namun jumlah pembeli sepertinya bisa dihitung dengan jari. Dan keuntungan yang didapat mungkin tak memadai untuk sekadar mengepulkan periuk nasi.

Sebuah perkara rumpil membayangkannya bisa menyisihkan sebagian pendapatan mengisi celengan. Di kala harga-harga barang kebutuhan rumah tangga masih bergayut di awan. Lalu dengan apa ia hendak mengongkosi anak-anaknya sekolah? Haruskah ia sumarah saja ketika anak keturunannya tak beranjak dari tingkat pendidikan rendah?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun