***
Mas Yanto, pengusaha kuliner yang merangkap pelatih amatiran, mengacungkan lima jarinya ke arah kami. Waktu pertandingan normal bersisa lima menit. Ini waktu krusial, begitu kalimat yang sering diucapkan komentator sepak bola di televisi-televisi kita. Tingkat kewaspadaan mesti dinaikkan.
Lengah sedikit bisa menjadi petaka besar, karena kebobolan dalam menit-menit ini nyaris mustahil berbalas. Kami di barisan pertahanan harus ekstra waspada menjaga jangan sampai ada bola terlesak ke gawang.
Dalam suasana genting, tiba-tiba saja bola sudah meluncur ke sisi kiri pertahanan kami. Di sana kulihat Atok berjibaku dalam upaya kerasnya menahan bola agar tak sampai merasuk ke kotak penalti. Ia paham betul situasi kritis yang tengah dihadapi setiap pemain yang ada di atas lapangan ini. Ia tentu ingat akan ikrarnya.
Betapa pun keras upayanya, gagal juga Atok menghadang laju sayap kanan bernomor punggung tujuh. Sepersekian detik selepas dari Atok, sang sayap segera menyodorkan bola ke kotak bahaya kami. Surya yang ditujunya telah sigap berdiri di depan hidungku. Kaki panjangnya yang bagai pegas itu secepat kilat menjulur menyambut umpan yang amat matang itu. Aku tertinggal setengah langkah, dan itu sudah cukup baginya untuk mengirim kami ke liang kubur.
Kelebatan bayangan buruk menjadi pecundang hadir tepat ketika kaki kiri Surya menyentuh si kulit bundar. Tak ada lagi pertimbangan apa pun saat kuayunkan kedua belah kakiku ke arah si kaki kidal dengan jurus gunting taman membabat perdu. Sesaat kudengar dengking nyaring kesakitan meluncur dari mulut Surya. Ia tampak menggelepar-gelepar sambil mendekap erat tungkai kirinya, seolah-olah ia akan segera kehilangan anggota tubuhnya itu.
Sekejap aku menyadari apa yang akan menimpa diriku tatkala kudengar gemuruh pul-pul sepatu mengantarkan para tuan mereka memburuku. Belum usai keterkejutanku, aku menyaksikan gerombolan orang-orang berwajah liar berlarian dari tepi lapangan dengan teriakan-teriakan ganas memancar deras dari mulut-mulut mereka. Semua mengarah ke diriku.