Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kalap

30 Desember 2018   16:27 Diperbarui: 30 Desember 2018   16:58 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi aku bukan seekor keledai. Aku akan memastikan bahwa kejadian-kejadian memalukan itu tak kan berulang untuk kedua kalinya, pada partai yang sesungguhnya. Apalagi pertandingan besok sore bisa dikatakan sebagai partai sarat gengsi dan emosi.

***

Bunyi tetabuhan dari berbagai perkakas rumah tangga bergemuruh mengiringi masuknya kami setim ke lapangan hijau. Kombinasi suara galon air yang dipukul seutas kayu, gemerisik kaleng-kaleng cat yang diadu satu sama lain, serta sebuah gendang---satu-satunya alat musik yang sebenarnya---kadang-kadang agak bernada, tetapi jauh lebih banyak serabutan. Tak jauh beda dengan para pemukulnya, sebagian besar juga pekerja serabutan.

Tentu saja bunyi-bunyian yang dihasilkannya tak beraturan karena pemuda-pemudi kampung itu bukan grup musik yang mampu menyewa seorang pengaransemen musik yang profesional. Mereka hanya mengusung fanatisme sebagai satu-satunya motivasi dalam menampilkan hingar-bingar di pinggir lapangan. Meskipun hanya belasan orang, tetapi keriuhan suara mereka cukup dominan. Mengalahkan suara kendaraan bermotor yang lalu lalang di seputar lapangan, pun lengkingan terompet penjaja es krim yang mengambil kesempatan mengais rezeki.

Entah mencontek kejadian-kejadian dalam panggung politik nasional entah tidak, acap pula mereka meneriakkan kalimat-kalimat tak berbudaya. Menyerang kubu lawan dengan seringai kebencian.

Tak masalah bagi kami. Kami mengenali suara-suara riuh itu adalah teman-teman kami. Suara-suara itu bukan sekadar bunyi-bunyian yang tiada arti. Sekotor apa pun, suara mereka adalah suara kami. Anak-anak muda yang bergelora itu tengah menyuarakan sebuah tuntutan. Tuntutan masyarakat sekampung yang mereka wakili.

Aku mengingat sebuah masa ketika sekumpulan orang tidak mampu mewujudkan tuntutan masyarakat. Kumpulan pecundang yang terjungkal tak lama setelah Pak Wali melakukan tendangan pembukaan kompetisi. Pada hari yang sama saat tim-tim pesaing, termasuk lawan klasik kami, melaju nyaris tanpa hambatan. Dan aku berada dalam kumpulan hina itu.

Kami telah berada di puncak pertandingan, dan mengingat betapa hinanya kami ketika menjadi pecundang, kami akan menunjukkan kepada para penuntut, siapa kami yang sebenarnya. Setidaknya, itulah yang terikrar. Dan di hadapan kami telah berdiri orang-orang yang tampak sangat gembira menyaksikan kegagalan kami tempo hari.

Bukan sekali kampung kami dibuat hina oleh seteru kami. Termasuk di era semasa Mas Yanto masih menjadi pemain belasan tahun silam. Tak heran, wajah merah penuh dendam terlihat jelas manakala sang pelatih menyampaikan instruksi-instruksinya kepada kami.

Seperti dugaanku, pertandingan berlangsung amat sengit dan sulit. Jungkir balik aku menahan gempuran penyerang-penyerang ganas mereka. Atok dan Bayu juga megap-megap menghalau tusukan-tusukan tajam saya-sayap lincah di sisi kanan dan kiri lapangan. Sebaliknya, tak sedikit jua kami membalas serangan dari segala sisi berusaha memorakporandakan barisan pertahanan tim lawan.

Silih bergantinya serangan belum juga menorehkan hasil. Kedua penjaga terakhir pertahanan masih bisa bergembira atas keperawanan gawang mereka. Aku, sebagai palang pintu, turut merasakan kebanggaan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun