Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kalap

30 Desember 2018   16:27 Diperbarui: 30 Desember 2018   16:58 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sehari menjelang partai puncak perebutan Piala Walikota, hatiku sungguh amat resah. Pesan Mas Yanto, pelatih kami, agar kami banyak beristirahat mengumpulkan energi untuk pertandingan esok hari, sulit kupenuhi. Sudah lewat tengah malam belum juga mataku terpicing.

"Kamu sangat kuandalkan. Kamu pasti bisa menahan mereka!" kata Mas Yanto membesarkan hatiku. Sambil mengepalkan genggaman tangannya, pria setengah baya itu memberikan sebuah pesan yang amat kuat kepadaku.

"Pokoknya kamu harus tahan mereka, apa pun caranya!" Begitulah ucapannya. Tangan kanannya menepuk kuat bahuku.

Pertandingan yang akan berlangsung besok sore bukan pertandingan biasa. Aku meyakini bahwa ia akan menjadi ajang pertaruhan gengsi dan martabat. Kami melihat calon lawan kami adalah kumpulan orang yang telah menghinakan kampung kami.

Warga kota menyebut kami sebagai seteru abadi. Aku membayangkan, kalau di level kompetisi kelas dunia, pertandingan besok bisa dianalogikan sebagai el clasico, pertarungan dua tim klasik Real Madrid versus Barcelona di negeri matador sana.

Kalau sudah berpikir begitu, kadang-kadang aku yang berposisi sebagai bek tengah dan menyandang ban kapten merasa diri bak seorang Sergio Ramos. Pengaruh Sergio Ramos pula yang membawaku memilih kostum bernomor punggung empat. Dan tentu saja di kubu lawan ada Messi yang harus kuhentikan. Dia adalah Surya, si ceking yang sulit dihadang langkahnya.

Namun, aku tidak bisa merasakan suasana gemuruh pendukung layaknya Sergio Ramos kala sedang merumput di kandang. Sebab, jangankan stadion semegah Santiago Bernabeu, lapangan becek sekualitas kubangan kerbau pun kami tak memiliki.

Aku memilih membandingkan kami dengan el clasico di Spanyol bukan karena tidak cinta tanah air. Seberapa pun kacaunya urusan sepak bola di negeri kita, tetap saja itu sepak bola Indonesia.

Masalahnya hanya karena kebingunganku menentukan tim Indonesia mana yang harus kupilih. Banyak sekali tim seteru abadi di negeri ini. Persebaya -- Arema disebut seteru abadi, Persebaya -- PSIS juga rival berat, demikian halnya dengan PSMS -- Persija, dan tak lupa tentu juga harus menyebut perseteruan kekal Persija -- Persib.

Kembali ke pertandingan yang harus kami lakoni besok. Aku mendengar kabar dari seorang kawanku perihal Surya yang meremehkan kemampuanku. Kata kawanku, ia mengatakan bahwa ia tak kan sulit melewatiku. Aku geram mendengarnya. Baiklah, kita buktikan besok.

Bila tidak salah, sekitar dua setengah bulan lalu, ia memang acap kali mengecohku. Ia menekuk bola di sebelah kiriku, lalu berlari kencang dari sebelah kananku menyambut bolanya. Ia juga mengolongi kedua kakiku. Dan setidaknya dua kali ia meninggalkanku dalam adu balap menyusur lapangan. Aku sempat agak kalap dan harus rela menerima kartu kuning karena mendorong punggung Surya hingga ia terjengkang. Kejadian-kejadian itu berlangsung dalam sebuah partai persahabatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun