Sebagai seorang "bulok" alias bujang lokal, saya menghadapi sebuah dilema. Menjalani peran sebagai bulok seperti saya berarti harus siap dengan sebuah konsekuensi terpisah dengan istri dan anak-anak. Seorang bulok tidak banyak memiliki kesempatan bertemu anak, paling cepat hanya sekali dalam seminggu. Dan waktu yang sedikit itu sebetulnya merupakan kesempatan untuk beristirahat, tetapi "terpaksa" harus banyak terpangkas untuk membersamai anak.
Anak bungsu saya masih di awal sekolah dasar, belum lama beranjak dari masa balita. Dalam usia yang demikian, tentu sebagian  besar kegiatannya masih seputar bermain. Selain bermain sepeda dan bulu tangkis di depan rumah yang menjadi rutinitasnya, ia juga gemar memainkan permainan-permainan lain yang umum dimainkan anak-anak seusianya, semisal permainan gasing, bola dan membuat mainan origami.
Selama hampir seminggu di hari kerja, kegiatan si bungsu ditemani ibunya. Maka di hari libur seperti Sabtu dan Minggu, saat saya berada di rumah, ia menuntut saya menyediakan waktu yang lebih banyak bersamanya.
Sebagai seorang ayah, tentu saja saya suka menemaninya dengan permainan-permainannya. Kesempatan ini sekaligus berfungsi sebagai ajang melepas kangen setelah selama lima hari dalam seminggu tidak melihat tingkah polahnya dan tidak mendengar cekikikan tawanya. Selain kelucuan-kelucuan yang masih tersisa di masa kecilnya, ia pun banyak memberi saya inspirasi-inspirasi yang sangat berguna.
Permainan yang Membosankan
Di luar banyak kegembiraan yang kami dapatkan, ada juga hal-hal yang tidak terlalu menyenangkan. Salah satunya permainan ular tangga. Saya mengingat permainan ular tangga sebagai permainan yang amat membosankan, dan "sialnya" si kecil sering menantang saya beradu untung memainkannya.
Hal paling membosankan dari permainan ular tangga adalah kegiatan yang berulang dengan akhir yang tak jelas. Bayangkan siklus ini: melempar dadu, melangkahkan bidak sejumlah mata dadu yang muncul, mengulang melempar dadu dan jika beruntung bisa menapaki tangga ke atas melangkahi beberapa tahap.
Namun yang saya rasakan lebih banyak buntungnya. Ketika sudah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan berada pada posisi yang tinggi, ternyata harus berjumpa dengan seekor ular, maka meluncurlah kembali ke dasar permainan. Tingkat kejengkelan berada pada puncaknya saat posisi tinggal beberapa langkah mencapai puncak, tiba-tiba telah menghadang seekor binatang melata yang panjangnya melebihi rangkaian gerbong kereta api dari Yogyakarta tujuan Jakarta.
Namun, bukankah sudah menjadi kewajiban kita sebagai orang tua untuk membersamai anak dalam pertumbuhan mereka? Tentu tidak elok bila kita menuntut anak-anak mengikuti selera kita.
Beberapa waktu saya sempat cukup tertekan ketika harus menemani anak bermain salah satu jenis permainan paling membosankan di seluruh dunia ini. Sembari memainkan permainan ini, saya memutar otak, mencoba memikirkan cara membunuh kebosanan atau mempercepat permainan.
"Reinkarnasi" Ular Tangga