Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Tidak Harus Mendapat Sanjungan

16 September 2018   09:30 Diperbarui: 19 September 2018   14:33 1697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.plukme.com

"Seringkali yang membuat ujung pena terhenti menuangkan kata adalah keinginan untuk melahirkan tulisan yang banyak disanjung orang. Sementara yang memecah kebuntuan adalah sikap apa adanya dalam menuturkan kebenaran."

Saya baru saja membuka-buka kembali buku lawas karya Mohammad Fauzil Adhim yang berjudul "Inspiring Words for Writers". Saya menemukan kalimat menarik itu di dalamnya. Bisa jadi kalimat itu mencuat berdasar pengalaman dalam proses kepenulisan beliau. Yang saya tahu, Pak Fauzil adalah seorang penulis inspiratif yang banyak menelurkan buku berlabel best seller.

Pada kesempatan lain, saya mencari referensi terkait pembahasan masalah ini dalam buku "Happy Writing" karya Andrias Harefa. Dalam salah satu bab di buku ini, Pak Andrias merumuskan 4 zona penulis dilihat dari tingkat keberanian dan pertimbangan mereka dalam menulis.

Pertama, "zona lemas" yang menggambarkan produktivitas rendah dan kurang pertimbangan. Tentu saja ini zona paling tidak diinginkan siapa pun.

Kedua, "zona kritikus" yang berisikan para penulis yang terlalu banyak pertimbangan hingga produktivitas menjadi minim.

Ketiga "zona nekat". Sesuai namanya, zona ini menghimpun orang-orang dengan tingkat keberanian yang tinggi tanpa banyak pertimbangan. Sudah pasti zona ini menghasilkan banyak karya namun kualitasnya masih diragukan.

Terakhir adalah "zona keunggulan" atau bisa juga disebut "zona kearifan". Di sini lah tempat berkumpulnya para penulis jempolan dengan tingkat produktivitas tinggi disertai kualitas yang mumpuni.

Pak Andrias mengaku, pada awal karir kepenulisannya, beliau menceburkan dirinya ke dalam "zona nekat". Menurut beliau, produktivitas harus dikembangkan lebih dulu dibandingkan kualitas. Sebab, bila kita terlalu mempersoalkan kualitas di kala produktivitas masih rendah, maka akan sulit bagi kita untuk maju dan berkembang.

Saya tidak begitu paham, seberapa jauh tingkat kenekatan Pak Andrias kala itu. Yang saya tahu, kini beliau amat produktif menghasilkan sekian banyak buku laris.

Tidak gampang menerapkan kalimat mutiara Pak Fauzil. Setiap kali akan menayangkan tulisan, selalu timbul harapan karya itu akan mendapatkan sambutan positif, atau setidaknya masih ada beberapa orang berkenan sejenak singgah dan membacanya. Sebab, setiap tanggapan bernada positif dan angka keterbacaan yang cukup tinggi akan menumbuhkan kebahagiaan, atau setidaknya kelegaan. Berikutnya, kebahagiaan akan menguatkan niat untuk menghasilkan karya-karya berikutnya.

Nah, untuk mendapatkan sambutan positif sudah tentu kita harus menyajikan tulisan yang tidak asal-asalan. Paling minim syarat mendasar lah yang mesti terpenuhi. Beberapa di antara kondisi elementer yang perlu mendapat perhatian antara lain tema yang menarik, kalimat yang memenuhi kaidah tata bahasa, ketepatan tanda baca dan sebagainya.

Ketidakyakinan akan terpenuhinya beberapa hal mendasar itu bisa menjadi penyebab ciutnya hati dan surutnya nyali untuk menerbitkan tulisan. Maka, hingga kini dalam folder draft saya masih tersimpan rapi beberapa tulisan setengah jadi. Mereka masuk daftar tunggu pemeriksaan kelengkapan dasar atau menanti tataran kenekatan saya meningkat.

Saya meyakini, senekat-nekatnya Pak Andrias, beliau tetap memberikan pertimbangan mendasar atas tulisan-tulisannya. Begitu pula Pak Fauzil. Meskipun apa adanya, saya menduga beliau tetap menerapkan standar minimal yang harus terpenuhi.

Saya terus mencoba menerapkan resep Pak Andrias Harefa. Saya juga berikhtiar mengikuti kalimat Pak Fauzil. Buktinya, beberapa tulisan saya yang bermodal nekat dan apa adanya turut menghiasi beberapa halaman Kompasiana.

Nekat dengan Bekal Minimal

Meskipun nekat dan apa adanya, saya tetap membekali diri dengan beberapa kebiasaan yang meyakinkan saya bahwa setidaknya tulisan saya tidak terlalu jauh keluar dari kaidah paling dasar. 

Kebiasaan yang saya lakukan antara lain menambah porsi membaca karya orang lain, menggunakan beberapa perangkat penunjang, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Sinonim atau Tesaurus Bahasa Indonesia dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD), serta pengecekan menyeluruh sebelum tulisan tayang.

Saya coba bahas masing-masing bekal minimal yang saya maksudkan tersebut di bawah ini:

Bekal pertama, kebiasaan memperbanyak membaca karya orang lain mendatangkan beberapa keuntungan. Pertama, menambah wawasan, memunculkan ide dan memperbanyak kosa kata. 

Kedua, meningkatkan keyakinan diri karena menurut pengamatan yang saya lakukan, saya mendapati kenyataan bahwa tidak semua tulisan yang tampil di media berkualitas tinggi. Jadi tulisan yang saya hasilkan moga-moga bukan yang terburuk. Tidak ada maksud lain dari pernyataan ini selain untuk menaikkan kepercayaan diri saja.

Bekal kedua, saya menggunakan beberapa perangkat penunjang, yakni:

1. KBBI

KBBI berfungsi untuk meyakinkan saya akan ketepatan makna suatu kata atau istilah. Saya akan membuka halaman-halaman KBBI saat tertimpa keraguan akan definisi suatu kata atau istilah. Di sini saya juga bisa mencari kata lain yang lebih cocok dengan konteks tulisan.

2. Kamus Sinonim Bahasa Indonesia

Kamus Sinonim membuat saya bisa memvariasikan kata dengan harapan tidak membosankan pembaca. Menurut saya, penggunaan kata yang beragam akan membikin pembaca lebih betah menelusuri kalimat-kalimat yang kita rangkai.

3. Pedoman Umum EYD

Pedoman EYD sudah tentu menjadi panduan bagi penggunaan aturan-aturan baku dalam ber-Bahasa Indonesia. Kekeliruan-kekeliruan penulisan kaidah karena kekurangpahaman kita bisa jadi akan mengurangi minat pembaca. Selain itu, ada juga sedikit angan-angan ideal, membantu menyebarluaskan penggunaan Tata Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar.

Bekal terakhir, pengecekan sebelum tayang menjadi alat pamungkas. Ia akan meminimalisir kesalahan ketikan, kekeliruan penulisan ejaan dan bisa juga melakukan penyatuan atau pemenggalan kalimat. 

Sebab tulisan yang banyak mengandung salah ketikan, tulisan yang banyak memuat kekeliruan ejaan atau kalimat yang tidak lengkap atau terlalu panjang akan menurunkan animo pembaca untuk melahap tulisan hingga tuntas.

Jadi tidak harus mendapat sanjungan, namun harapan minimal saya, pembaca tidak buru-buru berpaling dari tulisan saya sebelum tiba waktunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun