Mind mapping adalah sebuah alat yang amat membantu di masa lalu. Kini, sarana rakitan Tony Buzan ini kembali menunjukkan keandalannya dalam menghasilkan tulisan.
Beberapa tulisan yang saya rancang menggunakan mind map diakui oleh redaksi Kompasiana pantas berlabel artikel utama.
Pembahasan mengenai mind map dengan berbagai bentuk dan manfaatnya telah banyak ditulis. Termasuk juga di Kompasiana.
Sebab itu, saya tidak akan mengulas panjang lebar mengenai teori mind map di sini. Selain keberadaan model ini sudah cukup lama, saya yakin kebanyakan orang sudah familiar dengan metode ini.
Mind map nyaris tak membutuhkan biaya. Piranti yang dibutuhkan amat sederhana, hanya sehelai kertas kosong tak bergaris dan pena atau pensil warna.
Menurut Tony Buzan, sang kreator, dua perangkat lain telah melekat dalam diri manusia, yakni otak dan imajinasi.
Tujuh Kaidah Mind Mapping
Tujuh panduan dasar pembuatan mind map sesuai ajaran Tony Buzan dalam bukunya "Buku Pintar Mind Map" adalah:
1. Mulailah dari bagian tengah kertas kosong yang diposisikan mendatar. Dengan mulai dari tengah, otak kita akan bebas menyebar ke segala arah.
2. Gunakan gambar atau foto bagi ide sentral kita. Sebab gambar di posisi sentral akan terlihat menarik dan membuat kita fokus. Selain itu, ia akan merangsang imajinasi kita.
3. Pakailah berbagai warna supaya mind map kelihatan lebih semarak, menyenangkan serta menambah energi bagi pemikiran kreatif kita.
4. Hubungkan cabang-cabang utama dengan ide sentral dan cabang-cabang kedua, ketiga dan seterusnya dengan cabang-cabang sebelumnya. Pengkaitan antar cabang ini berfungsi untuk memudahkan kita dalam memahami dan mengingat hal-hal yang kita tulis dalam mind map. Hal ini berkaitan dengan salah satu tabiat otak yang akan bekerja menurut asosiasi. Otak suka mengaitkan beberapa hal sekaligus.
5. Buatlah garis hubung yang melengkung agar tidak membosankan otak.
6. Tampilkan satu kata kunci untuk setiap cabang untuk memberi lebih banyak fleksibilitas dalam mind map.
7. Perbanyak penggunaan gambar, karena bak ungkapan "gambar bermakna seribu kata", maka semakin banyak gambar, kemungkinan pengembangan kata akan berlipat.
Baiklah, saya akan segera menyampaikan pengalaman saya dalam proses penulisan menggunakan mind map melalui dua contoh.
Contoh pertama adalah tulisan saya yang dinilai redaksi pantas bertengger di jajaran headline Kompasiana berjudul "Sedotan dalam Hidung Penyu (Bukan) Milik Saya". Artikel ini berangkat dari imajinasi yang saya olah dengan sarana mind map. Begini ceritanya.
Awalnya saya amat terenyuh menyaksikan sebuah video yang menggambarkan penderitaan seekor penyu akibat hidungnya kemasukan sebuah sedotan plastik. Sekonyong-konyong tersembul sebuah pertanyaan dalam benak saya, siapa yang membuang sedotan sembarangan? Saya jadi berkhayal bahwa sedotan itu berasal dari diri saya.
Maka, ide pun mencuat di kepala. Saya akan menuangkannya dalam sebuah artikel. Namun saat itu belum sedikit pun muncul gagasan mengenai bentuk dan isi tulisan yang akan saya bikin.
Mind Map Sang Penolong
Dalam kondisi demikian, saya lantas teringat pada mind map. Karena piranti untuk mencipta mind map sudah selalu tersedia, saya pun segera mulai coret-coret.Â
Berhubung sejak mula yang terbayang dalam benak saya adalah imaji bahwa sedotan yang menancap dalam hidung si penyu berasal dari saya, maka mind map bertumpu pada tema itu.
Cabang-cabang utama tersebut lantas melahirkan cabang-cabang kedua, ketiga dan seterusnya.
Sebagai misal, cabang "jalur" menghasilkan tiga kemungkinan rute yang harus dilewati sedotan dari Indonesia hingga Kosta Rika, yakni udara, darat dan laut.
Berikutnya, sebagai hasil pengembangan dari cabang "laut", hadir kata-kata "selokan", "sungai" dan "samudra" sebagai titik-titik yang harus dilalui si sedotan.
Selain itu, mencuat juga kata "banjir", "ikan" dan lain-lain yang mungkin akan tertimpa kemalangan oleh hadirnya sedotan dalam kehidupan mereka.
Langkah selanjutnya tinggal mengembangkan tulisan berdasarkan mind map yang telah tersusun.
Tidak semua cabang yang tampil dalam mind map akhirnya nongol di artikel karena saya harus memilih-milih materi mana yang layak terbit dalam artikel.
Contohnya, saya sempat menuliskan kata "hambatan", "plastik" dan "ketahanan" sebagai cabang-cabang mind map.
Hal ini saya maksudkan untuk memastikan sedotan berbahan plastik masih utuh setelah melalui perjalanan panjang dari Indonesia menuju Kosta Rika.
Namun karena pertimbangan panjang artikel dan pengetahuan tentang daya tahan plastik umumnya orang sudah paham, saya pun memutuskan tidak menghadirkan bahasan ini dalam artikel.
Mind map yang saya hasilkan rasanya telah memenuhi seluruh kaidah yang disampaikan oleh Tony Buzan.
Bukan Jago Gambar pun Bisa Bikin Mind Mapping
Godaan yang sering saya rasakan adalah aturan "satu kata dalam setiap cabang" yang kadang-kadang sulit saya hindari. Mengatasi perangai suka berpanjang-panjang kata memang tidak mudah.
Selain itu, keterbatasan kemampuan menggambar juga cukup sulit untuk mengikuti nasehat Tony Buzan yang ketujuh.
Kabar baiknya, Tony Buzan bilang bahwa mind map bukan tes kemampuan artistik.
Jadi, yang tidak jago gambar tidak perlu berkecil hati.
Setelah artikel tayang di Kompasiana, saya masih suka menyimpan gambar mind mapping-nya.
Mind Map Ala Kadarnya
Contoh kedua, sebuah artikel yang juga menurut redaksi berhak singgah di lapak artikel utama Kompasiana dengan judul "Menjajal Patin dan Kopi Melayu di Kota Madani".
Ia nyaris sepenuhnya lahir melalui mind map. Inilah kisahnya.
Dalam perjalanan dari Pekanbaru menuju Jakarta, dalam penantian di bandara, saya menyempatkan diri menggelar secarik kertas putih. Itulah bahan dasar mind map.
Sayang sekali, saya tidak berhasil menemukan pensil warna di ransel saya.
Bak kata peribahasa "Tiada rotan akan pun jadi", saya gunakan saja sebuah pena, satu-satunya alat tulis yang setia mengikuti perjalanan saya.
Berikutnya, saya segera menyusun cabang-cabang utama mind map dengan menuliskan lokasi-lokasi yang saya singgahi atau saya lihat selama di kota itu.
Cabang-cabang berikutnya pun segera muncul dari cabang-cabang mind map yang telah saya susun. Cabang-cabang kecil berisi hal-hal menarik dan kesan-kesan saya terhadap tempat-tempat yang saya kunjungi.
Karena keterbatasan waktu dan sarana pada saat itu, mind map yang saya hasilkan ala kadarnya.
Namun, dengan kualitas mind map yang seadanya, saya sudah bisa menuangkannya dalam bentuk artikel setiba di rumah. Tentu harus ada pemilahan cabang-cabang mana yang layak ditampilkan.Â
Dalam mind map yang satu ini, banyak tatanan yang tidak bisa saya penuhi, terutama penggunaan gambar dan warna. Aturan "satu kata setiap cabang'' pun banyak terabaikan. Maklum, kondisi darurat.
Memang mind map hitam putih dan sekadarnya begini tidak indah dipandang mata, tetapi saya bisa merasakan faedahnya.
Nah, melihat perannya yang tak sedikit, mind mapping adalah sebuah peranti andal yang tak pantas diremehkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H