Fase Tersulit
Kini, tibalah kami pada satu fase tersulit, memberi teladan. Karena buah tak kan jatuh jauh dari pohonnya, maka fase ini menjadi amat penting peranannya. Fauzil Adhim mengatakan bahwa orang tua merupakan model pertama dan utama dalam memberikan contoh yang baik. Orang tua harus sering membaca buku di depan anak. Anak-anak yang melihat orang tua mereka suka membaca, tak kan punya dalih "Ayah sama Bunda aja nggak suka baca" ketika kita mengajaknya membaca buku.
Meskipun di depan kami telah mendeklarasikan diri kami selaku insan pecinta buku, namun tetap saja hambatan kemalasan dan terutama daya tarik dunia di luar buku cukup menyulitkan kami menjadi sosok teladan pecinta buku.
Sesulit-sulitnya fase ini, kami terus berupaya untuk banyak bergaul dengan buku di tengah-tengah keluarga. Selain kami tunjukkan dengan membacakan buku kepada anak-anak, kami juga sedapat mungkin membaca buku-buku koleksi kami saat jeda pekerjaan. Ibarat peribahasa 'sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui', membaca memberikan dua manfaat sekaligus, kami beroleh ilmu dan anak-anak (mudah-mudahan) mendapatkan teladan.
Beberapa kondisi sulit sering menghadang fase berat ini. Selain hambatan yang berasal dari diri sendiri seperti keinginan untuk leyeh-leyeh melepas penat dengan bermalas-malasan, hadangan berat juga muncul dari luar. Gawai dan televisi bisa disebut sebagai dua biang kerok. Sungguh berat menyingkir dari kedua benda itu.
Gawai sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Si mesin pintar yang satu ini memang memiliki daya tarik luar biasa, serba tahu dan serba ada.
Berikutnya televisi. Sekuat-kuatnya tekad meminimalisir televisi, saya belum sanggup meninggalkan tayangan langsung tim-tim favorit Liga Indonesia dan Liga Eropa berlaga di lapangan hijau. Namun, di luar tayangan bola dan sedikit siaran berita, tidak banyak lagi tempat bagi si layar kaca untuk mejeng di rumah kami.
Katakan dengan Buku
Pergilah ke toko suvenir. Apakah Anda menemukan buku di sana? Saya tidak terlalu yakin Anda akan mendapatkannya. Apakah ini berarti buku tidak masuk kategori suvenir? Entahlah. Mungkin juga banyak pertimbangan lain mengapa buku tak pernah hadir di toko suvenir.
Demikian pula kebiasaan kebanyakan orang. Jarang sekali kita temukan anak berulang tahun mendapat kado buku. Mungkin juga hampir tidak pernah kita temui acara bagi-bagi kado di kantor--kantor terlihat buku sebagai salah satu isi kado di antara puluhan atau ratusan tumpukan kado. Atau pada lomba tujuh belasan, mungkinkah ada yang pernah melihat pemandangan sekelompok pemanjat antusias mencoba menggapai buku-buku yang bergelantungan di atas batang pinang?