Ku singkap pintu dari bambu yang mulai lapuk terlapisi sisa-sisa kapuk. Sepetak bangunan berdinding potongan-potongan kayu berlapis seng.Â
Bekas dapur yang sudah lama terbengkalai dengan tungku pembakaran yang masih tertinggal lunglai. Bangunan kecil itu dijadikan sebagai tempat untuk mengantih atau memintal kapuk menjadi benang secara tradisional.
Namanya Sukiyah atau akrab disapa Nini Suki oleh warga setempat. Dia seorang perempuan berusia lanjut dari Dusun Pagersari, Desa Tumanggal, Kecamatan Pengadegan.Â
Usianya kini sudah 90 tahun, namun dirinya masih setia untuk mengantih pada sepetak bangunan yang dibuat khusus di balik rumahnya.
Nini Suki, satu dari ratusan warga Desa Tumanggal yang masih telaten mengantih menggunakan jantra atau alat pemintal benang. Ngantih menjadi kegiatannya sehari-hari yang dimulainya sedari pagi hingga sore hari.
Setiap harinya, Nini Suki memutar jantra yang dibuatkan khusus oleh cucunya untuk memudahkannya mengantih.Â
Sembari duduk beralaskan potongan-potongan karung, Nini Suki mengayukankan tangan kanannya dengan sebilah kayu untuk memutar jantra. Tangan lainnya menggenggam kapuk dan sehelai benang yang sudah dipintalnya.
Kapuk sebagai bahan baku pembuatan benang antih didapatkannya dari Kepala Desa (Kades) Tumanggal, Surati yang juga generasi kedua benang antihan. Atau putranya yang langsung memasok kapuk ke rumah-rumah warga yang mengantih.
Dalam sehari, Nini Suki dapat menyelesaikan setengah kilo benang antih atau setara dengan dua gelung benang. Gulungan benang yang sudah selesai tidak langsung disetorkan namun menunggu Bu Kades atau putranya mengambilnya sekaligus memasok kembali kapuk untuk dipintal.