Mohon tunggu...
Lilian Kiki Triwulan
Lilian Kiki Triwulan Mohon Tunggu... Penulis - Always be happy

La vie est une aventure

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tapa Pendhem, Pentas Teater di Tengah Hujan

5 Desember 2020   19:23 Diperbarui: 5 Desember 2020   19:30 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pementasan Tapa Pendhem di Misbar Purbalingga, Rabu (2/12)/Dok: Misbar Purbalingga

Tapa Pendhem merupakan sebuah karya yang ditulis dan dipentaskan dalam sebuah teater. Tapa Pendhem merupakan karya yang diadaptasi dari sebuah legenda yang terkenal di Kabupaten Purbalingga.

Legenda Putri Ayu Limbasari yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga. Legenda ini kemudian didekonstruksi menjadi sebuah karya yang lebih modern dan sesuai dengan realita kehidupan masa kini.

Tapa Pendhem sebuah karya yang dipentaskan dalam program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI bersama dengan Komunitas Teater Sastra Perwira (Katasapa) Purbalingga sebagai panitia penyelenggaranya. Butuh proses yang panjang hingga akhirnya bisa menghasilkan penampilan yang maksimal.

Dimulai dari pendaftaran untuk mengikuti Workshop dan Pentas Teater karena keinginan untuk mencari pengalaman yang berbeda. Ini merupakan kali pertama seorang perempuan yang dikenal dengan Lilian Kiki Triwulan memulai untuk masuk ke dunia teater.

Ada yang menarik dari program yang ditawarkan, yakni mementaskan sebuah teater yang diambil dari cerita rakyat dan legenda yang berkembang di Purbalingga. Tidak hanya itu, Bahasa yang digunakan pun bahasa penginyongan dan ini menjadi tantangan untuk saya yang jarang menggunakan bahasa itu untuk sehari-hari.

Setelah menjalani workshop teater selama tiga hari dengan materi yang luar biasa dan baru pertama kali didapat yakni bagaimana menulis naskah, keaktoran, proses berteater, penyutradaraan dengan pemateri yang luar biasa dan sudah malang melintang di dunia sastra dan teater.

Terbagilah 4 kelompok dari 40 peserta yang mengikuti workshop sampai akhirnya masuk menjadi bagian dari kelompok 2. Kelompok yang menurut saya, kelompok yang luar biasa dengan latar belakang yang berbeda-beda bahkan dari usia yang bisa dikatakan berbeda.

Pementasan Tapa Pendhem di Misbar Purbalingga, Rabu (2/12)/Dok: Misbar Purbalingga
Pementasan Tapa Pendhem di Misbar Purbalingga, Rabu (2/12)/Dok: Misbar Purbalingga

Setelah pengenalan dasar, proses pun dimulai dengan naskah yang dipasrahkan pada Ikrom Rifai. Butuh banyak penyesuaian hingga akhirnya menjadi satu naskah yang lengkap dengan mengambil Legenda Putri Ayu Limbasari yang ditorehkan pada sebuah karya berjudul 'Tapa Pendhem'.

Workshop selesai namun proses penggarapan masih terus berlanjut dengan proses latihan yang berkelanjutan. Pertama kalinya dan ternyata begitu mengasyikan dengan sebuah peran di luar kehidupan nyata.

Sosok Sarkem dihadirkan dalam 'Tapa Pendhem' dengan perannya yang cerewet, genit, peduli dengan sahabatnya 'Sri' dan menaruh hati pada sosok lelaki yang bernama Wlingi. Menjadi Sarkem bukanlah hal yang mudah apalagi harus menjadi seseorang yang cerewet dan genit.

Butuh latihan ekstra untuk benar-benar bisa masuk dalam karakter Sarkem yang diinginkan oleh penulis naskah. Sarkem ini juga bukan pemeran utama dalam 'Tapa Pendhem', Sarkem hanyalah pemeran pendukung untuk menjadikan karya yang akan ditampilkan lebih hidup dan kekinian.

Lebih dari 10 kali proses latihan untuk menemukan karakter Sarkem yang diinginkan. Tata panggung yang harus dikuasai dan juga gerak gerik Sarkem sesuai dengan karakternya yang centil dan genit.

Pementasan Tapa Pendhem di Misbar Purbalingga, Rabu (2/12)/Dok: Misbar Purbalingga
Pementasan Tapa Pendhem di Misbar Purbalingga, Rabu (2/12)/Dok: Misbar Purbalingga

Awalnya ragu, hingga akhirnya memberanikan diri untuk menyesuaikan karakter yang diharapkan, apalagi ekspresi yang harus dikeluarkan pun harus maksimal agar tidak mengecewakan. Belum lagi ditambah dengan gerakan penunjang dialog untuk lebih menghidupkan suasana. Butuh mental dan rasa percaya diri yang luar biasa agar tidak setengah-setengah dalam menampilkan.

Dinamika proses latihan pun terjadi namun ternyata semua bisa dihadapi karena tidak mungkin ditunda lagi. Bahkan sempat memunculkan opsi menyesuaikan naskah dengan pemain yang ada tapi ternyata tidak jadi karena semangat yang luar biasa dari para pemain.

Mereka yang berasal dari pelajar, mahasiswa, pegawai, guru hingga kepala sekolah ternyata bisa dipadu-padankan pemikirannya. Waktu untuk proses latihan pun menyesuaikan dengan kondisi semuanya hingga akhirnya berlatih hingga larut malam pun menjadi hal yang biasa.

Sampailah pada penghujung latihan dan persiapan untuk pementasan dimana proses latihan yang telah dijalankan diaplikasikan. Pendamping kelompok yang luar biasa sebut saja Mas Gustav, Mas Lupus dan Mas Gilang yang dengan sabar membimbing hingga pementasan.

Hari itu 1 Desember 2020, gladi pementasan pun dilaksanakan namun sayang hujan besar dan membuat panggung Misbar Purbalingga basah dan tergenang. Proses gladi pun tidak maksimal karena hujan tak kunjung henti hingga proses gladi selesai.

Pementasan Tapa Pendhem di Misbar Purbalingga, Rabu (2/12)/Dok: Misbar Purbalingga
Pementasan Tapa Pendhem di Misbar Purbalingga, Rabu (2/12)/Dok: Misbar Purbalingga

Ada ketakutan bagaimana nanti ketika hari pementasan tiba hujan besar yang tak kunjung berhenti. Akankah ditunda atau justru tetap dilaksanakan. Dan apa yang ditakutkan dan dikhawatirkan pun terjadi, hujan mengguyur Kota Purbalingga dari sore hingga tengah malam.

Pentas yang dijadwalkan pada pukul 20.00 harus diundur pada pukul 21.00 karena hujan yang begitu deras dan Misbar Purbalingga yang memang diguyur hujan besar. Mau tidak mau, siap dan tidak siap pementasan harus tetap berlangsung.

Panggung yang sudah dibersihkan dan dibuang airnya ternyata masih menyisahkan air yang menggenang karena kondisi hujan yang terus menerjang dan tak kunjung reda. Pentas pun dimulai, lampu panggung mulai berirama.

Volume suara pemain mau tidak mau harus dimaksimalkan meskipun ada mic yang terpasang dan terkena hujan. Genangan air di atas panggung ternyata membuat sensasi yang luar biasa dan menambah artistik dari sebuah pementasan serta sesuai dengan konsep yang diinginkan.

Dan panggung menjadi tempat mengeluarkan semua resah serta beban yang ada. Mengekspresikan semua tanpa ragu, panggung menjadi tempat berlabuh dan menumpahkan segala isi hati dengan cara yang unik.

Meskipun hujan yang tak kunjung mereda dan panggung yang terus terkena percikan hujan tapi tak menghalangi semangat para pemain 'Tapa Pendhem' untuk berkarya dan berekspresi. Pakaian yang akhirnya harus basah kuyub karena harus terguling menjadi saksi sebuah pementasan teater di tengah hujan.

Pentas teater ini tentunya menjadi pentas yang pertama kali dengan pengalaman yang luar biasa. Berekspresi di tengah hujan, menampilkan sebuah cerita rakyat dengan kemasan milenial untuk mengenalkan legenda yang tumbuh di Purbalingga kepada masyarakat luas. Terima kasih atas pengalaman yang luar bisa dan berproses bersama orang-orang hebat dari berbagai latar belakang. (Lilian Kiki Triwulan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun