Kadar self-acceptance rendah akan menimbulkan rasa cemas, tidak aman, bersalah, khawatir, dan terasing. Orang-orang di kelompok ini akan menjalani hidup untuk menyenangkan orang lain, sekalipun bertentangan dengan Firman Tuhan.
Sedangkan tingkat self-acceptance yang tinggi akan memproduksi rasa gembira, percaya diri, berani, lapang dada, dan acuh. Di kelompok ini, orang-orangnya masa bodoh dengan opini masyarakat tentang dirinya.
Dari pengalaman pribadi, saya sadari memang sulit menjadi otentik. Contohnya saja, keputusan saya dan Puteri Kecil untuk homeschooling.
Homeschooling itu sendiri amat menyenangkan, baik untuk saya ataupun Puteri Kecil. Tapi ternyata, pendapat masyarakat tentang homeschooling adalah sekolah orang miskin, orang yang tidak bisa bergaul, pasti anaknya bodoh, nanti tidak dapat kerjaan, dan cap negatif lainnya.
Padahal, ada banyak hal berharga dalam homeschooling. Misalnya saja dari materi reading Puteri Kecil hingga jadi artikel ini. Contoh lain, saya merasakan campur tangan Tuhan dalam pembentukan Puteri Kecil. Jadi, betapa saya bersyukur untuk homeschooling!
***
 ... self-acceptance is a journey, not a destination. It takes time, patience, and effort, but the end result is worth it. You are unique, valuable, and worthy of love and acceptance ... - IG Positive Psychology
Ya, self-acceptance adalah sebuah proses. Saya belajar mengenali diri sendiri untuk waktu yang lama. Dari proses kenal hingga mencintai diri sendiri juga butuh waktu, kesabaran, dan komitmen.
Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku (Mazmur 139 : 13). Â
Kata pemazmur itu membuat saya semakin bersyukur untuk kesempatan hidup. Sebab dari semula Tuhan memang menciptakan saya untuk menjadi unik dan berharga.