Untuk saya, smartphone adalah teknologi canggih yang mempermudah hidup. Dia menjadi otak tambahan. Dia juga dapat berfungsi sebagai tempat sampah hati, media penyalur hobi, alat selfcare, kendaraan untuk selfdevelopment, asisten pribadi, tempat berinvestasi, wadah bersosialisasi, wahana untuk mencari uang, serta sarana untuk tetap terhubung dengan keluarga dan dunia.
Dengan segudang fungsi tersebut, kapasitas ROM jadi isu genting. Awalnya, 64 GB itu lebih dari cukup. Lama kelamaan, indikator memori internal menunjukkan 70% terpakai.
Mulailah drama-drama kekacauan digital pada smartphone. Pengalaman yang paling mengerikan saat terjadi don’t put your eggs in a nest. Tetapi karena kejadian itulah saya mulai meluangkan waktu memeriksa smartphone.
Ternyata, smartphone harus diperlakukan seperti seorang anak. Dia perlu perhatian dan perawatan. Dia perlu arahan bertindak, tidak dapat dibiarkan melakukan otomatisasi tanpa perintah yang rinci.
Misalnya saja, ada aplikasi yang dapat disimpan di memori eksternal (SD Card). Tindakan lain untuk mengurangi pemakaian memori internal yaitu membersihkan data dan cache.
Mengoptimalkan memori internal berarti memaksimalkan fungsi smartphone. Hasilnya, benda ini dapat menjadi lebih berarti dan bermakna untuk saya.
Ketika drama bank digital menimpa saya, godaan membeli smartphone baru sempat terlintas. Yang membuat saya tidak membeli, yaitu rasa bersalah pada diri sendiri.
Masa sih tiap tahun harus beli smartphone baru? Apa smartphone ini sudah 100% optimal? Apa saya sudah melakukan sesuatu untuk mengoptimalkannya?Â
Rasa syukur membendung rasa tidak pernah puas.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!