Orang-orang berusia 40-an ke atas pasti tahu Chairil Anwar. Minimal pernah dengar di pelajaran Bahasa Indonesia.
Saat saya di SMP, pelajaran Bahasa Indonesia dibagi menjadi 2 bagian. Yang pertama, Tata Bahasa Indonesia. Dan yang kedua, Sastra Indonesia.
Di pelajaran Sastra Indonesia, Bu Cicilia mengenalkan sosok Chairil Anwar. Bahkan murid-murid diwajibkan menghafal puisi Chairil Anwar, yang berlainan. Lalu maju ke depan kelas satu per satu.
Teman-teman satu kelas ada yang memilih Antara Karawang dan Bekasi, Aku si Binatang Jalang, Senja di Pelabuhan Kecil, dan lainnya. Saya memilih puisi Diponegoro.
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar
Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berani
Sudah itu mati
Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas tiada
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Umumnya, ketika seseorang akan memilih sesuatu, akan ada alasan khusus. Begitupun saat saya memilih puisi Diponegoro. Ada kisah unik yang menginspirasi.
Sebelum tugas Sastra Indonesia itu, SMP Yuwati Bhakti Sukabumi mengadakan field trip ke Yogyakarta. Selain ke Musium Affandi, kami juga mengunjungi Musium Diponegoro.
Di Musium Diponegoro, kami berkeliling sambil mendengarkan sejarah. Saat tiba di bagian belakang, Tembok Jebol, adik saya bergurau.
"Ah, masa sih bisa jebol tembok," ujarnya dengan sangsi. "Ini sih rekaya, seperti di film-film."
Malamnya, kami menginap di beberapa hotel di tengah kota Yogyakarta. Saya dan adik berada di hotel yang berbeda.
Keesokan harinya, saat kami mengunjungi Pantai Parang Trigis, teman-teman adik saya bercerita.