Buku elektronik mengubah wajah literasi. Karakteristiknya lebih efisien, efektif, dan ringkas. Kehadirannya sangat cocok di era digitalisasi ini.
Sejak mengajar homeschooling, saya menjadi akrab dengan buku elektronik. Materi-materi pelajaran putri kecil saya unduh dari Education atau K5 Learning. Sedangkan suplemen latihan, saya pilih dari Teachers Pay Teachers (TPT).
Setelah pindah ke Sektor 1A, saya tidak dapat leluasa mengakses internet. Saat itulah saya memulai debut sebagai penulis buku elektronik.
Awalnya, buku-buku elektronik itu hanya untuk putri kecil. Lama kelamaan, saya membuat versi yang lengkap. Namun, hanya sebagai bahan koleksi dan tidak dipasarkan.
“Siapa yang akan beli buku berbahasa Inggris?” tanya putri kecil.
“Belum mama jual,” jawab saya. “Ini jadi dokumentasi saja. Nanti mama cari tahu dulu bagaimana cara jualnya. Di TPT, sepertinya orang-orang bule itu mudah sekali menjual ebook.”
***
Inspirasi saya membuat buku elektronik datang dari TPT. Soal-soal yang dijual di komunitas itu begitu kreatif dan segar.
Membuat buku elektronik mudah. Saya hanya perlu sebuah laptop dan aplikasi pembuatan dokumen. Biasanya saya memilih aplikasi presentasi.
Buku elektronik tidak perlu ISBN. Sifatnya lebih personal dan penulis lebih leluasa menuangkan ide. Sayangnya, buku elektronik mudah dibajak atau disebarluaskan.
Selain itu, buku elektronik juga mudah hilang. Saya kehilangan 25 buah buku elektronik soal-soal berbahasa Inggris, 5 buku cerita buku dan 4 buku soal berbahasa Indonesia. Hal itu terjadi karena laptop rusak dan mati total.
Sekitar 6 tahun yang lalu, saya coba memasarkan buku elektronik. Sayangnya, jenis buku ini belum terkenal di Indonesia. Ketika saya menawarkan pada teman-teman, mereka tidak mengerti bagaimana cara memakainya.
Seorang teman bahkan menuduh saya melakukan penipuan. Sekalipun sudah menerima file pdf buku elektonik, dia tidak mau membayarnya.
“Lho, kok hanya seperti ini,” ujar Keisya (bukan nama sebenarnya). “Saya pikir dengan 20 ribu akan menerima buku. Ini sih penipuan namanya!”
Saya kesal dengan kelakuannya Keisya. Di TPT, saya membeli buku elektronik kisaran $4 - $6 hanya untuk beberapa soal. Sedangkan saya membuat buku elektronik soal yang cukup lengkap untuk 20 ribu.
Alasan penolakan lainnya, mereka tidak terbiasa mengajar anak. Bahkan mereka menyarankan agar saya menjual pada pihak sekolah. Jadi guru-guru yang mengajari anak mereka.
Pelanggan awal saya hanya 1 orang, Lisa. Dia dan suaminya mengerti cara menggunakan buku elektronik.
Baru belakangan mulai ada beberapa pelanggan baru. Mereka minta dibuatkan buku elektronik sesuai kebutuhan anak.
***
Saat ada Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), orang-orang mulai kenal buku elektronik. Namun, pemasaran buku elektronik lewat Tokopedia dan Shoope masih sepi.
Buku elektronik untuk anak-anak belum mendapatkan tempat di masyarakat Indonesia. Sulit untuk memasarkannya. Padahal, menerbitkannya mudah sekali.
Pantang berhati surut. Suatu hari, pintu akan terbuka. Nasehat-nasehat kuno yang menguatkan saya di kala susah. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H