Soal wanita adalah soal masyarakat! Sebab kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat, jika kita tidak mengerti soal wanita.
(Soekarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia)
Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri.
(Nabi Muhamad S.A.W)
Dilema Wanita Pekerja
Masalah wanita merupakan masalah yang pelik. Dimana wanita yang kita bicarakan ini adalah wanita yang berumahtangga. Wanita yang bukan hanya memperhatikan dirinya sendiri, namun perlu mengurus suami dan anak, atau bahkan mungkin juga orang tua.
Wanita yang berumahtangga bertanggung jawab untuk banyak urusan. Dimana hal-hal kerumahtanggaan meliputi:
- memasak dan menyediakan makanan,
- menjaga dan memelihara kesehatan,
- menyiapkan pakaian yang bersih dan rapi,
- melayani kebutuhan suami,
- merawat, mengatur, dan membimbing anak,
- bergaul di lingkungan tempat tinggal,
- menata relasi dengan teman-teman dan keluarga besar,
- mengurus kecantikan dirinya,
- menguasai norma-norma, moral, dan estetika,
- dan sebagainya.
Daftar tugas seorang wanita akan menjadi lebih panjang, jika dia juga harus menopang ekonomi keluarga. Wanita itu harus membagi waktunya untuk bekerja di luar rumah, dan bekerja di rumah.
Bung Karno di dalam Sarinah mengutip kalimat Pokrol Jenderal Chaumette, “Semenjak kapankah perempuan boleh membuang keperempuanannya dan menjadi laki-laki?”
Dilema wanita berumahtangga yang bekerja, sudah ada sejak dulu. Dan dari jaman ke jaman, persepsi masyarakat tentang hal ini terus berubah.
Dari banyak ibu rumah tangga yang bekerja, hanya sebagian kecil yang alasannya untuk aktualisasi diri. Sebagian besar ibu rumah tangga bekerja untuk bantu memikul beban biaya rumah tangga.
Dengan kata lain, akar permasalahannya bukan terletak pada wanita. Ketika seorang wanita berumahtangga meninggalkan kewanitaannya dan berusaha setara dengan laki-laki, disitu ada kesenjangan kesejahteraan hidup. Ada permasalahan ekonomi yang harus diatasi oleh wanita tersebut.
Membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga
Wanita pekerja yang berumahtangga memiliki 3 tanggung jawab utama. Yaitu, tanggung jawab kepada suami, anak, dan pekerjaan.
“The great lifelong duty of a woman is obedience”.
(Shingoro Takaishi, dalam Sarinah)
Sebagai seorang isteri, kewajiban utama wanita adalah setia dan taat pada suami. Menyerahkan kekuasaan atas hidupnya bahkan tubuhnya kepada suami.
“Kepada wanita, alam berkata pula: peganglah teguh kewanitaanmu! Memelihara anak, bagian-bagian pekerjaan rumah tangga, manisnya kepahitan menjadi ibu – itulah memang kerja bagimu!”
(Pokrol Jenderal Chaumette, dalam Sarinah)
Sebagai seorang ibu, setiap hari wanita mengurusi tugas “Sisiphus” rumah tangga. Atau pekerjaan-pekerjaan yang tidak pernah terselesaikan di rumah dengan rajin.
Bukan hanya itu, wanita juga perlu cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan telaten mendidik anak. Hidup bijaksana, suci, dan menjadi teladan bagi anak.
Sedangkan antara pekerjaan dan keluarga, seorang wanita pekerja yang berumahtangga memang dalam posisi sulit. Waktu 24 jam dalam 1 hari pasti kurang, akibat begitu banyak yang harus dilakukan.
Begitu pun jika anak “menderita” karena pekerjaan ibu, maka yang harus ibu pilih adalah anak. Sebab kesehatan mental anak jauh lebih penting daripada karir.
Negara yang kuat adalah negara yang terdiri dari warga-warga yang sehat jasmani, mental, dan rohaninya. Oleh karena itu, masalah ibu dan anak selayaknya diperhatikan oleh para pembuat undang-undang dan kebijakan negara.
Tanpa panduan jelas, masalah ibu dan anak tidak akan pernah terselesaikan. Perlu ada suatu undang-undang dan pelatihan bagi wanita untuk menyempurnakan hidup bersuami, beranak, dan berkesejahteraan.
Selain itu, negara dapat mengatur soal wanita lewat undang-undang yang membagi lapangan kerja untuk wanita belum menikah dan wanita berumahtangga.
Dimana wanita yang belum menikah bebas bekerja dan mengapresiasikan diri di luar rumah. Sedangkan wanita berumahtangga disediakan jalur khusus untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus menjalankan peran ibu.
Maksudnya agar ada suatu keadilan untuk wanita pekerja, terutama wanita pekerja berumahtangga. Sehingga wanita pekerja berumahtangga dapat menopang ekonomi keluarga, sekaligus lebih leluasa menjalankan peran keibuannya, juga menciptakan generasi masa depan yang baik dan sehat.
Menciptakan Ikatan dan Mewariskan Nilai pada Anak
Suatu ikatan ibu dan anak, tidak otomatis ada karena ikatan darah saja. Ikatan ibu dan anak yang kuat lahir dari:
- aliran komunikasi dua arah,
- berapa banyak investasi waktu kebersamaan,
- dan kualitas muatan aktivitas yang dilakukan bersama.
Ikatan ini perlu dan berguna untuk mewariskan nilai-nilai yang baik lewat ajaran-ajaran sehari-hari. Tanpa ikatan, suatu ajaran hanya gaung yang tak menyentuh dasar hati anak.
Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. (Ulangan 6 : 6 – 7)
Ketika seorang ibu terus menerus mentransfer tentang suatu kualitas yang baik dan menarik, hal itu akan berakar di hati anak.
Ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya.
Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji.
(Amsal 31 : 26, 30)
Begitu pula, jika di setiap kesempatan, ibu dengan gigih membagikan idenya tentang apa yang benar, apa yang salah, dan apa yang penting dalam hidup, maka hingga anak dewasa hal itu akan tetap diingatnya.
Woman’s work is never done
Pekerjaan wanita berumahtangga tidak pernah selesai. Apalagi pekerjaan wanita pekerja yang berumahtangga. Perjuangannya adalah perjuangan raksasa, yang tujuannya besar.
Tuntutan untuk wanita pekerja yang berumahtangga adalah menjaga dirinya tetap seimbang. Sebab dia tercipta sebagai manajer rumah tangga, hamba dari suami, pelayan dari anak, sekaligus abdi pekerjaan.
Tidak mudah untuk seorang ibu melayani anaknya. Namun sebagai pemimpin yang bijak, kualitas kepemimpinan terukur lewat totalitas pelayanan. Sehingga seorang ibu memerlukan kesabaran yang luas.
Begitu pula ketika menghadapi suami. Menghamba pada suami akan membuat eksistensi wanita menjadi sangat penting dan dibutuhkan oleh suami. Dan untuk menghamba, wanita memerlukan hati yang lapang dan tulus.
Sedangkan, untuk membuat dirinya tetap seimbang di tengah-tengah kesibukan, wanita pekerja yang berumahtangga memerlukan waktu untuk merawat dirinya sendiri–self care.
Dilema yang dihadapi wanita pekerja yang berumah tangga, tidak jauh dari keterbasan dan kelemahan diri. Namun hal ini dapat diperbaiki lewat menambah pengetahuan dan mengembangkan kualitas karakter.
Sempurnakanlah dirimu! Sempurnakanlah kecantikanmu, sempurnakanlah kecakapanmu berumahtangga, sempurnakanlah kepandaianmu meladeni suami, maka dengan sendirinya kedudukanmu sebagai wanita akan lebih berharga dan lebih menyenangkan!
(Soekarno, Sarinah)
Dimana pun seorang wanita bekerja, baik itu bekerja di luar rumah ataupun di rumah, nasibnya terlukis di telapak tangan. Sehingga, permasalahan tentang wanita pekerja dan tanggung jawabnya, hanya dapat dipecahkan oleh dirinya sendiri.
Ada usaha, ada aksi, pasti akan ada jalan untuk wanita pekerja memecahkan masalahnya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H