Dengan hilangnya fitting room atau tidak adanya kesempatan untuk mengepas baju, hal ini menjadi tuntutan baru untuk kualitas industri fesyen. Yaitu mematuhi standarisasi ukuran baju (S, M, L, XL, XXL, dan XXXL).
Geliat dunia fesyen bahkan meluas hingga dunia maya. Kini masyarakat dapat menikmati peragaan busana melalui internet. Dari peragaan busana amatir yang life dari rumah, hingga peragaan busana virtual yang digelar perancang busana ternama.
Fesyen dan Citra Diri
Dengan adanya Covid-19, pernak-pernik fesyen semakin beragam. Busana-busana formal bermerek internasional, mulai tergeser dengan fesyen dalam negeri, yang didominasi oleh katun bermotif batik.
Hal ini membuat roda ekonomi industri garmen di tanah air berputar. Yang mana, garmen adalah industri padat karya. Bahkan dapat menjangkau ibu-ibu rumah tangga yang bekerja dari rumah.
Selain beralih kepada produk dalam negeri, masyarakat juga mulai menyukai busana yang tertutup. Tidak banyak bukaan yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh. Contohnya, seperti celana olah raga 3/4 atau 7/8 dipadu dengan tank top dan jaket anti Corona.
Boleh dikatakan, tren busana pandemi menjadi lebih sopan. Fesyen wanita mengurangi sisi erotis dan lebih memperhatikan sisi keamanan dan memberi perlindungan.
Ini adalah pergeseran dan tren fesyen yang baik. Mengingat begitu banyaknya kasus pelecehan wanita. Walaupun pelakunya laki-laki, namun ujungnya yang dituding sebagai penyebab pelecehan adalah wanita. Sebab gaya busana yang terlalu terbuka dan erotis.
Fesyen bukan hanya kebutuhan penutup aurat. Fesyen adalah bagian dari pencitraan diri di hadapan publik. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H