Penggunaan rokok dan vape di kalangan remaja Indonesia terus menjadi sorotan. Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Jika tidak ditangani dengan serius, fenomena ini dapat berdampak buruk pada kesehatan generasi muda sekaligus menantang implementasi nilai-nilai Pancasila, terutama yang berkaitan dengan moralitas dan tanggung jawab.Â
Fakta di Lapangan Â
Menurut data Riskesdas 2023, prevalensi merokok pada remaja usia 10-18 tahun naik menjadi 9,1%, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 8,8%. Sementara itu, penggunaan vape juga mengalami lonjakan. Penelitian Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2022 menyebutkan bahwa lebih dari 30% perokok remaja di Indonesia juga menggunakan rokok elektrik.Â
Promosi produk vape menjadi salah satu penyebab utama. Melalui media sosial seperti TikTok dan Instagram, vape dipasarkan dengan citra yang modern, berkelas, dan didukung oleh beragam varian rasa yang menarik minat anak muda. Banyak remaja mulai menganggap vape sebagai simbol gaya hidup kekinian, tanpa menyadari dampak buruknya bagi kesehatan, Dr. Andika Pratama, seorang dokter spesialis paru, menyatakan dalam Seminar Bahaya Rokok Elektrik untuk Remaja di Jakarta, "Meskipun dianggap lebih aman daripada rokok tembakau, vape tetap mengandung zat kimia berbahaya yang dapat merusak paru-paru, terutama bagi pengguna muda".
Tantangan dalam Pendidikan Nilai-Nilai Pancasila Â
Sebagai dasar negara, Pancasila mengajarkan pentingnya moralitas, tanggung jawab, dan kesehatan sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat. Namun, fenomena meningkatnya penggunaan rokok dan vape menunjukkan bahwa penanaman nilai-nilai tersebut belum maksimal.Â
1. Pengabaian Nilai MoralitasÂ
Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menekankan pentingnya menjaga tubuh sebagai bentuk tanggung jawab kepada Tuhan. Namun, banyak remaja yang terpengaruh oleh lingkungan dan media sehingga mengabaikan nilai ini demi mengikuti tren.Â
2. Pengaruh Media Sosial yang MasifÂ
Media sosial yang tidak terkontrol sering kali menjadi saluran promosi yang agresif untuk produk-produk yang tidak sehat. Hal ini bertentangan dengan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang mengajarkan pentingnya menghargai diri sendiri dan orang lain.Â