RUU Cipta Kerja adalah pembahasan yang paling panas saat ini, bahkan media international seperti CNN, Reuters, New York Times, CNA meliput tentang undang-undang ini. Disaat Indonesia mengharapkan investor asing, malah media international memuat kata-kata : "... that could deter investors from Indonesian markets" (dapat mencegah investor masuk ke pasar Indonesia), dalam artikel tentang RUU Cipta Kerja ini.
Jika International mengkhawatirkan masalah 'forest' terkait RUU ini, berbeda dengan para buruh di Indonesia, yang disorot adalah ketenagakerjaan, yang tertera pada bab IV RUU ini (hingga tulisan ini saya buat, saya belum menemukan UU Cipta Kerja yang sah dilengkapi nomor dan tanggal). Permasalahan tenaga kerja ini yang membuat terjadi demonstrasi besar di Indonesia pada hari ini, tanggal 8 Oktober 2020.
Saya akan mencoba membedah lengkap bab ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja, yang merupakan perubahan atas UU No 13 tahun 2003. Pada gambar-gambar yang saya tampilkan kami telah merincikan pasal-per pasal revisi, penambahan dan penghapusan yang dilakukan  UU No 13 tahun 2003.
Bab IV tentang Ketenagakerjaan berada pada pasal 81 RUU Cipta Kerja, dan dimulai dengan merevisi UU No 13 tahun 2003 pasal 13 tentang Pelatihan Kerja. Tidak seluruh pasal di UU No 13 tahun 2003 dibahas pada RUU Cipta Kerja, sebagai contoh pasal 13 dan pasal 14 dibahas, namun 15 sd 36 tidak dibahas, langsung ke pasal 37.Â
Pada 9 (sembilan) pasal pertama BAB IV ini tidak ada yang terlalu menarik untuk dibahas, karena tidak ada perbedaan signifikan antara UU No 13 tahun 2003 dan RUU Cipta Kerja. Pada pasal ke 10 yang dibahas, yaitu pasal 48 UU No13 tahun 2003, ada hal yang menarik untuk dibahas, yaitu apakah perlu pasal ini dihapus?Â
Jika pada UU No 13 tahun 2003 pemberi kerja harus memulangkan TKA jika telah selesai masa kerjanya di Indonesia namun dengan pasal ini dihapus apakah pemberi kerja bisa lepas tangan dari mereka? Atau TKA boleh lanjut tinggal di Indonesia (tentu saja jika visanya masih berlaku)? Hal ini perlu mendapat penjelasan.
Pasal yang menarik berikutnya dibahas adalah pasal 59 yang direvisi, dimana menurut UU No 13/2003 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat diperpanjang atau diperbaharui, namun kalimat tersebut dihapus dan diganti dengan kalimat yang mengatakan perpanjangan PKWT diatur dengan Peraturan Pemerintah.Â
Pertanyaannya adalah Peraturan Pemerintah yang mana? Apakah yang baru? Jika yang baru, apakah sudah selesai? Rasanya kurang pas jika terdapat perubahan Undang-undang namun merujuk ke Peraturan Pemerintah (PP) yang lama.
Pasal 61A merupakan suatu pasal yang baru, yang menyebutkan bahwa jika berakhir waktu kerja atau selesai proyek, maka harus diberikan kompensasi. Ini adalah suatu hal yang baik, namun ternyata hal ini juga dibahas pada UU No 13 tahun 2003, namun posisinya lebih dibelakang, sementara pada posisi 61A dibuat didepan walaupun tanpa detail.Â
Pasal 64 dan 65 dihapus, membahas tentang penyerahan pekerjaan ke penyedia tenaga kerja, tidak terlalu menarik dibahas (kecuali anda  pemilik perusahaan alih daya pekerja).
Yang menarik adalah kontradiksi pasal 77 dan 79. Pada pasal 77 dibahas waktu kerja, dimana ada pilihan 5 (lima) hari kerja dan 6 (enam) hari kerja. Namun, pada pasal 79 tidak ada pilihan untuk libur dalam 2 (dua) hari kerja dalam satu minggu (hal ini merevisi UU No 13 tahun 2003 yang sesuai dengan pasal 77 yaitu menyediakan istirahat dua hari kerja bagi yang bekerja lima hari kerja seminggu).Â
Apakah ini salah redaksi? Jika bukan, maka sebaiknya undang-undang konsisten, pasal 79 harus sesuai dengan pasal 77, silahkan perbaiki salah satu pasal.
Pada revisi pasal 88 kembali muncul kata-kata : lebih lanjut akan diatur pada Peraturan Pemerintah, padahal pada UU No 13 tahun 2003 kata-katanya sangat indah : "Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup yang layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi".
Pada pasal 88 tentang upah ada tambahan pasal A hingga E, lengkapnya telah kami simpulkan pada gambar diatas. Pasal 89 UU No 13 tahun 2003 dihapus, padahal pada pasal ini terdapat pilihan upah berdasarkan UMP atau UMK, dan juga kata-kata indah : "upah minimum diarahkan pada pencapaian kebutuhan yang layak". Kenapa pasal ini dihapus?Â
Saya tidak menemukan jawaban ini di pasal lain, malah di pasal 98 Dewan Pengupahan tidak lagi berjenjang dari nasional hingga Kota/Kabupaten, hanya ada Dewan Pengupahan.Â
Hal ini yang menjadi ketakutan banyak buruh, apakah penentuan pengupahan tersentralisasi, apakah Kabupaten/Kota masih ada wewenang? Tapi sebenarnya hal ini tidak perlu dihebohkan, pada penutup BAB IV ini, pasal 191 A disebutkan bahwa saat UU ini baru disahkan maka masih mengikuti UU No 13 tahun 2003, dan tidak boleh ada penurunan upah. Tapi bagaimana kedepannya?
Selesai masalah upah, masalah berikutnya adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tidak ada perubahan signifikan antara pasal 151 sd 154, namun muncul pasal baru yaitu 154A. Terdapat 14 (empat belas) penyebab dapat dilakukan PHK pasal 154A tersebut, namun ini bukan hal baru karena di UU No 13 tahun 2003 telah ada, bahkan sangat detail sampai menjelaskan besar pesangon, penghargaan, penggantian hak dan uang pisah per masing-masing penyebab PHK tersebut.
Menyambung masalah PHK tentu saja terkait dengan masalah pesangon dan yang berhubungan dengan kesejahteraan saat putus hubungan kerja. Dari 5 (lima) pasal yang dibahas, tidak ada sesuatu yang signifikan berubah.Â
Namun begitu, kita akan dikagetkan dengan pasal 161 sd 172 dihapus padahal itu adalah pasal yang menjelaskan besar pesangon, penghargaan, penggantian dan uang pisah dari setiap jenis PHK yang akan dialami pekerja, dan ini sangat berkaitan dengan pasal baru yaitu 154A. Penghapusan pasal 161 sd 172 ini tidak menghilangkan pemberian pesangon karena pada pasal 156 dan 157 dijelaskan tentang pesangon dan perhitungannya, namun jumlahnya secara spesifik perjenis yang hilang karena pasal 161 sd 172 tersebut dihapus.
Selebihnya tidak ada pasal-pasal yang terlalu penting untuk dibahas, dari penghapusan pasal 184 hingga pembahasan 3 (tiga) pasal berikutnya dan pemunculan pasal baru yaitu 191A.
Sebagai penutup saya sampaikan, ini adalah yang saya lihat dari sudut pandang saya, dan jika ditanyakan "perlukah undang-undang ini?". Menurut saya, khusus untuk ketenagakerjaan (pasal 81) sebaiknya dihapus saja dari UU Cipta Kerja ini, karena tidak ada yang signifikan berubah bagi pemberi kerja dan investor, malah kata-kata yang ada pada pasal 81 menyebabkan kebingungan dan multi tafsir, sementara UU No 13 tahun 2003 tersebut masih layak digunakan hingga saat ini. Dan satu lagi, ternyata banyak kata di UU No 13 tahun 2003 yang indah, dimana ada kata-kata "melindungi", "memberikan kehidupan yang layak" dll, sehingga sebagai warga kita dapat merasakan pedulinya negara kepada kita, mudah-mudahan bukan hanya sekedar kata-kata di undang-undang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H