Teks lama atau lebih kita kenal dengan naskah dalam ilmu filologi. Hanya sepersekian orang saja yang mengenali ilmu ini. Walaupun dalam sejarah perjalanannya teks-teks ini banyak diperjualbelikan ke negara tetangga seperti Malaysia. Tidak banyak yang menyadari jika perdagangan teks ini sudah berlangsung selama beberapa tahun ke belakang. Pemerintah tidak banyak berperan aktif  dalam mengamankan teks-teks lama ini dari tangan masyarakat, sehingga ketika dilanda kemiskinan banyak masyarakat yang melepas naskah ini dengan cara diperjualbelikan.Â
Naskah yang ditulis para ulama dari Aceh ini seperti Nuruddin Ar-Raniry, Abdurrauf As-Singkili, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani dan beberapa ulama lainnya. Empat ulama yang telah disebut diatas merupakan ulama yang paling berpengaruh di Aceh dan menghasilkan karya tulis yang dapat kita temukan hingga saat ini.
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir naskah ini sudah mulai di museumkan di salah satu rumah milik Masykur yang berada di Kabupaten Pidie Jaya Kecamatan Bandar Baru Desa Blang Glong. Naskah ini telah disimpan tetapi ditemukan sejumlah cacat dimana para peneliti tidak dapat mengetahui pasti siapa penulisnya dan berbagai informasi lainnya. Terdapat berbagai cacat dalam naskah ini terutama di bagian covernya, yang biasa terdapat informasi nama penulis, tahun ditulis dan beberapa halaman akhir juga banyak hilang.
Dari kasus diatas sudah sepatutnya kita tidak memperjualbelikan hasil karya para ulama Aceh terutama naskah lama yang harga jualnya sangat menggiurkan bahkan negara lain mampu membelinya walaupun di pasang harga yang tinggi. Tidak sedikit diantara kita yang tergiur dengan uang karena kebutuhan meningkat tetapi menjual naskah ini bukanlah cara yang tepat.
Puluhan naskah dapat dipastikan sudah dijual bahkan sekalipun sudah di meseumkan. Bahkan dalam catatan sejarah Indonesia adalah salah satu negara yang sering memperjualbelikan naskah kuno para ulama. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melestarikan manuskrip yang ada di nusantara terutama yang ada di Aceh yang memiliki keaslian.
Pelestarian manuskrip ini meliputi penjilidan, penyemprotan anti jamur, perbaikan fisik, bahkan ada juga yang ditambal dan dibuat juga kotak penyimpanannya. Orang zaman dahulu banyak menyimpan manuskrip di rumah sehingga tidak terjaga dan terbengkalai. Guratan pena para ulama ini sangat penting terutama bagi anak cucu lintas zaman.Â
Karya intelektual para ulama ini akan selalu menjadi emas yang tidak pernah padam bahkan di Eropa dijadikan referensi pada puncak-puncak gemilang Aceh Darusalam. Sejarah mencatat tahun 2004 silam telah terjadi Tsunami di Aceh disinilah manuskrip banyak yang hilang. Sehingga ada sebagian orang yang ingin mengumpulkan manuskrip mengalami kesulitan untuk mencarinya. Bagi para penggiat manuskrip, manuskrip ini dapat ditemukan di pameran-pameran yang dibuat oleh pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H