Dalam kamus KBBI, realisme adalah orang yang memiliki pandangan sesuai kenyataan. Sedangkan materialisme adalah orang yang memiliki pandangan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan berdasarkan pada materi. Secara harfiah, tidak ada korelasi antara definisi ke duanya. Tetapi jika mengulik, realisme dan materialisme memiliki hubungan erat.
Contoh mudahnya adalah dalam konteks pernikahan. Laki-laki dituntut untuk mapan, dan wanita penuntut dianggap sebagai materialisme. Padahal realitanya, peradaban ekonomi sudah berubah. Semua hal tidak bisa didapatkan tanpa materi, bahkan hanya untuk sesuap makanan pengisi perut kosong.
Namun sebagian kaum Adam menganggap jika seorang wanita tidak mau hidup bersama dari bawah atau dari nol, artinya wanita tersebut materialisme. Karena hanya berpatok pada materi. Sedangkan, tak jarang laki-laki pemalas menikah tanpa ada keinginan untuk menyejahterakan istrinya. Anehnya tidak ada label buruk untuk laki-laki seperti itu.
Beberapa narasumber wanita dari kalangan menengah ke atas dan menengah ke bawah dengan tegas menjawab 'Tidak' saat ditanya apakah mereka mau hidup bersama dari bawah atau dari nol. Tetapi mereka setuju untuk hidup bersama dari bawah atau dari nol dengan definisi lain tentang 'bawah' atau 'nol'.
Hasil survey lapangan, definisi lain tentang hidup bersama dari bawah atau dari nol adalah minimal seorang laki-laki memiliki :
- Pekerjaan tetap
- Penghasilan tetap
- Kendaraan (minimal motor )
- Tempat tinggal (minimal kontrakan walaupun kecil )
Jika tidak memenuhi standar, minimal laki-laki tersebut memiliki niat untuk mapan agar mampu menyejahterakan keluarga, pekerja keras, dan bertanggung jawab.
Mengapa?
Karena mereka memiliki kewajiban untuk memberi nafkah. Sedangkan era saat ini, semua serba mahal. Kita mulai dari harga beras per liter.
- Tahun 2002, harga 1 liter sekitar 2 ribu rupiah
- Tahun 2010, harga 1 liter sekitar 4 sampai 5 ribu rupiah
- Tahun 2020, harga 1 liter sekitar 9 sampai 10 ribu rupiah
- Tahun 2024, harga 1 liter mulai dari 12 sampai 17 ribu rupiah
perkiraan minimal biaya pendidikan sekolah swasta.
- Tahun 2002, biaya SPP kurang dari 20 ribu rupiah.
- Tahun 2010, biaya SPP kurang dari 150 ribu rupiah
- Tahun 2020, biaya SPP mencapai 700 ribu hingga 1,5 juta rupiah
- Tahun 2024, biaya SPP mencapai 1,5 hingga 3 juta rupiah
Belum lagi biaya bulanan tempat tinggal, listrik, dan lainnya. Pikirkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan dan berapa penghasilan dalam sebulan. Artinya, jika wanita memiliki standar hidup dari bawah atau dari nol, itu realisme. Bukan materialisme.
Dampak dari ekonomi yang tidak stabil adalah
- Istri harus menahan keinginannya
- Pertengkaran dalam rumah tangga
- hutang menumpuk
- Perceraian
Dampak dari tidak memiliki kendaraan adalah
- Sulit mencari pekerjaan
- Sulit bepergian
- Menghabiskan uang untuk angkutan umum
Dampak tidak memiliki tempat tinggal
- Tinggal di rumah mertua
- Kesenjangan antar dua kepala keluarga
- Merusak hubungan kekeluargaan
Lalu bagaimana dengan laki-laki pemalas?
- Bekerja hanya dalam waktu beberapa bulan, lalu resign
- Sering meminta izin dengan berbagai alasan
- Akhirnya, tidak mau bekerja apa pun
- Istri berperan sebagai ibu rumah tangga dan tulang punggung
- Mengandalkan istri dalam semua hal
Hebatnya tidak ada kata hujatan untuk lelaki semacam ini.
Kesimpulannya, wanita di era ini tidak semua materialisme. Tetapi realisme. Apakah jika seorang wanita menikah dengan lelaki mapan, si lelaki boleh berkata seperti "Â Enak banget lo, tinggal pakai hasil kerja keras gue ?"
Apakah memulai pernikahan dari bawah atau dari nol bisa membuat moment yang indah untuk dilewati bersama di era serba uang seperti saat ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H